Jakarta (ANTARA News) - Eksekusi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 821 K/Pdt/2010 terkait kepemilikian Universitas Trisaksi yang akan dilaksanakan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada (19/5) tidak hanya semata menegaskan kemenangan pihak Yayasan Trisakti, tetapi sebagai bagian penting dari upaya menciptakan kepastian hukum, kata pakar.

Prof Dr Thomas Suyatno, Guru Besar Manajemen dan Akademisi Senior menyatakan prinsipnya sebagai negara hukum dalam sengketa Trisakti segala sesuatu harus tunduk pada perundang-undangan yang berlaku. Apalagi, keputusan hukum yang sudah dikeluarkan oleh lembaga tertinggi Mahkamah Agung (MA), harusnya semua tunduk. Warga negara dan bagian yang ada di dalamnya harus tunduk pada UU yang berlaku.

"Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) penyelenggaranya bersifat nirlaba yang dikelola oleh yayasan, perkumpulan, perhimpunan dan badan hukum sejenis," ungkap Thomas yang juga dosen di Program Doktoral Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dalam keterangan tertulisnya, Selasa.

Menurut Thomas, untuk kasus Trisakti tentu ada pengelolanya. Dalam hal ini yayasan, terlepas dari peralihan Res Publika menjadi Trisakti. "Sepengetahuan saya sebagai akdemisi, pengelolaan pendidikan tinggi harus dilakukan oleh badan hukum, bahkan pemerintah pun mengakui itu. Jadi tidak mungkin sebuah pendidikan tinggi swasta dapat berdiri sendiri," ujarnya.

Sementara, Prof Dr Rudi Satrio, Guru Besar Hukum UI menyatakan bahwa proses hukum yang sudah dilakukan dan memperoleh keputusan harus dilaksanakan. Dalam sengketa Trisakti, keputusan MA menjadi keputusan terakhir. Ada perintah eksekusi menjadi kewenangan pengadilan setempat harus dilaksanakan. Sebab itu adalah perintah UU yang harus ditaati dan tidak boleh dilawan.

Pelaksanaan eksekusi bagi Thoby Mutis Cs, sambung Rudi, harus dilaksanakan oleh Pengadilan, hukum acara dan peraturan perundang-undangan terkait juga memberikan kewenangan kepada ketua pengadilan negeri sebagai pelaksana putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dan perlu dipahami bahwa eksekusi tersbut ditujukan kepada para tergugat Thoby Mutis Cs, bukan fisik kampus, sebagaimana keputusan pengadilan.

"Dalam kasus ini, Ketua PN Jakarta Barat yang diberi kewenangan tersebut. Dalam menjalankan kewenangan ini, ketua pengadilan negeri dimungkinkan menggunakan alat kekuasaan negara (Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung, Red)," kata Rudi.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Krisis Center dan Informasi Universitas Trisakti Dr. Advendi Simangunsong, SH, MM dalam siaran persnya menyatakan, putusan hakim kasasi MA Nomor 821 K/Pdt/2010 tersebut beserta penetapannya punya potensi dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, Advendi mengharapkan, seyogyanya putusan tersebut tidak dapat dieksekusi, dan diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum kepada civitas akademika secara keseluruhan; menyatakan substansi amar putusan di atas dan pelaksanaan penetapan adalah tindakan pelanggaran HAM.

Selain itu, melakukan tindakan dan upaya lain yang diperkenankan sesuai hukum atas pelanggaran HAM dan peraturan perundangan seperti tersebut dalam amar putusan di atas sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memeriksa para pihak yang diduga keras telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam butir-butir di atas.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011