"Tinggal 44 hari masa pembahasannya. Tetapi, kemudian terpotong lagi dengan cuti bersama dadakan, berarti tinggal 42 hari kan?," katanya kepada ANTARA News di Jakarta, Selasa dinihari, melalui jejaring komunikasi sosial.
Kekhawatirannya semakin menggunung, karena menurut dia, RUU inisiatif DPR RI ini sudah lebih empat tahun tak kunjung tuntas pengesahannya, karena ada saja pihak-pihak yang berusaha menghambatnya.
"Terutama menyangkut substansi eksistensi badan-badan penyelenggara jaminan sosial yang mesti steril dari profit thinking," ungkapnya.
Tetapi, ia mengemukakan, masalahnya publik melihat masih ada di antara empat badan penyelenggara itu (Taspen, Askes, Jamsostek, Asabri) yang cenderung diarahkan berbeda dengan kriteria "sterilisasi" itu.
"Saya benar-benar khawatir, jangan-jangan ada upaya mengulur-ulur waktu di sini, termasuk dengan cara seperti sekarang, ada pengumuman mendadak soal cuti bersama. Jangan-jangan ini di arahkan ke dead-lock," ujarnya.
RUU BPJS itu sendiri, menurut dia, mestinya sudah harus diberlakukan, setelah negeri ini memiliki Undang Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sekitar lima tahun silam.
"UU SJSN ini memang mengatur semua hak konstitusi rakyat di bidang pemenuhan kebutuhan kesejahteraan sosial, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945," ujarnya.
Oleh karena itu, Rieke Diah Pitaloka berharap, Pemerintah yang menerjunkan delapan menteri, agar benar-benar serius menuntaskan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial (BPJS) itu.
"Ini penting, agar rakyat sebagai objek utama undang-undang (UU) tersebut segara bisa menikmati hak-haknya sesuai amanat konstitusi, yakni adanya jaminan kesehatan, pendidikan, kecelakaan hingga jaminan hari tua," ujarnya.
Ia menambahkan, "Tegasnya, kita jangan terkesan bermalas-malas ketika berbicara tentang kepentingan dan kebijakan pro-rakyat, lalu rajin jika tengah menggolkan UU mengenai kepentingan korporat."
(M036)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011