Alhasil, Perma No.3/2017 yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung 4 tahun yang lalu belum banyak dijadikan pedoman oleh hakim saat mereka mengadili perkara yang melibatkan perempuan.
“Kami menemukan ada lima hambatan penerapan Perma. Pertama, minimnya sosialisasi dan peningkatan kapasitas hakim; minimnya pemahaman mengenai hak PBH (perempuan berhadapan hukum); terbatasnya ketersediaan anggaran, sarana, dan prasarana pendampingan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat menyampaikan hasil kajian awal lembaganya pada sebuah acara diskusi virtual yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Komnas Perempuan ajak semua pihak aktif hapus kekerasan pada perempuan
Ia lanjut menyampaikan dua hambatan lainnya yang menyebabkan Perma No.3/2017 belum banyak digunakan oleh hakim saat mengadili perkara terkait perempuan, yaitu terbatasnya ketersediaan psikolog, penerjemah/pendamping untuk perempuan disabilitas.
Terakhir, lemahnya atau tidak adanya koordinasi antarpemangku kepentingan dalam tata kelola proses peradilan pidana, sebut Siti Aminah.
Lima hambatan penerapan Perma No.3/2017 merupakan salah satu hasil temuan Komnas Perempuan yang meneliti implementasi peraturan itu di lima provinsi, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Maluku.
Kajian itu melibatkan total 40 informan/pihak yang diwawancara, yang di antaranya terdiri dari 22 hakim dan 18 pendamping. Wawancara mendalam terhadap para informan berlangsung selama 3 bulan pada Oktober-Desember 2020, sementara penulisan laporan penelitian pada Januari-Maret 2021.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy menerangkan kajian itu penting karena tujuannya untuk mengetahui efektivitas serta optimalisasi penerapan Perma No.3/2017, terutama di 5 provinsi yang jadi lokasi penelitian.
Ia menyampaikan Komnas Perempuan berharap hasil penelitian, yang telah dipublikasikan dalam lima buku dan satu kertas kebijakan, dapat menjadi temuan awal untuk kajian-kajian lebih mendalam ke depannya, serta jadi pendorong bagi para hakim untuk memaksimalkan penggunaan Perma No.3/2017.
Menurut dia, Perma No.3/2017 penting jadi pedoman bagi para hakim demi memastikan tidak adanya diskriminasi berdasarkan gender dalam praktik peradilan di Indonesia.
“Terbitnya Perma jadi titik terang bagi (perempuan) korban di tengah stagnannya pembaruan hukum acara pidana,” kata Olivia.
Ia menambahkan Perma No.3/2017 juga memudahkan perempuan, terutama mereka yang menjadi korban untuk mengakses keadilan.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong Mahkamah Agung untuk melakukan sosialisasi Perma No.3/2017 dan menerapkan pengawasan pelaksanaan aturan itu secara berjenjang.
Komnas Perempuan juga mendorong MA memasukkan Perma No.3/2017 ke dalam materi pendidikan calon hakim dan menyediakan buku pedoman mengadili perkara yang melibatkan perempuan berhadapan hukum (PBH).
Baca juga: Komnas PA sebut perlu gerakan perlindungan anak di tingkat kampung
Baca juga: Komnas Perempuan apresiasi Baleg DPR yang telah setujui RUU TPKS
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021