Dalam sebulan terakhir ini, hampir semua masyarakat di Indonesia mengalami rasa was-was untuk mengkonsumsi makanan, khususnya makanan basah seperti mie, baso dan kemudian bertambah luas kekhawatiran itu, yakni takut mengonsumsi ikan segar dan ikan yang diasinkan. Padahal, ikan segar maupun yang diasinkan, selama ini merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun, ketika "hantaman" isu formalin menguat, maka ketakutan pun menebar di seantero Nusantara. Apa penyebabnya? Telah sama-sama diketahui bahwa sejumlah makanan tersebut terdapat kandungan bahan berbahaya (racun) yang kemudian diketahui luas sebagai formalin. Para ahli menegaskan bahwa formalin adalah sama sekali bukan bahan pengawet pada makanan, dan justru mengandung racun yang berbahaya bagi yang mengkonsumsinya, baik dalam jumlah sedikit, apalagi banyak. Namun, di tengah-tengah "geger" mengenai formalin itu, di mana kini otoritas pemerintah mulai menata kembali hal-ikhwal mengenai tata-niaga dan semacamnya, ternyata para ilmuwan dari Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), telah melakukan riset dan menemukan bahan alami pengganti formalin, khususnya pada produk-produk perikanan, seperti ikan asin. "Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah chitosan," kata Dr Ir Linawati Hardjito, Ketua Departemen THP FPIK-IPB, ketika memaparkan temuan riset tersebut di Bogor, Jumat (6/1). Ia menjelaskan, chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen dari total berat udang. Kadar chitin dalam berat udang, katanya, berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan yield 15-20 persen. Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Proses utama dalam pembuatan chitosan, katanya, meliputi penghilangan protein dan kendungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat. Ia mengemukakan, chitosan sedikit mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang kuat, yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Diungkapkan oleh Linawati Hardjito bahwa Departemen THP FPKI-IPB telah melakukan uji aplikasi chitosan pada beberapa produk ikan asin seperti, jambal roti, teri dan cumi. Dalam uji-riset yang dilakukan, chitosan pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Beberapa indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain pertama, pada ekeefktifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, dimana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan. Kedua, pada keunggulan dalam uji muu hedonik penampakan dan rasa, dimana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin. "Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan," katanya. Indikator ketiga, adalah pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, dimana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggi kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah 1 x 10 pangkat lima (100 ribu koloni per gram). "Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang," katanya merujuk riset (Allan dan Hadwiger, 1979 dalam El Grauth et al., 1991). Hal itulah yang menyebabkan daya simpan ikan asin yang diberikan perlakuan chitosan bisa bertahan sampai tiga bulan dibanding dengan ikan asin dengan penggaraman biasa yang hanya bisa bertahan sampai dua bulan. Sedangkan indikator terakhir atau keempat, yakni pada kadar air, di mana perlakuan dengan pelapisan chitosan sampai delapan minggu menunjukkan kemampuan chitosan dalam mengikat air, karena sifat hidrofobik, sehingga dengan sifat ini akan menjadi daya tarik para pengolah ikan asin dalam aspek ekonomis. Ia juga menjelaskan bahwa para pengolah ikan asin tertarik dengan perlakuan formalin karena dengan penambahan bahan ini, maka susut berat dalam pengeringan hanya kecil yakni sekitar 20 persen, sedangkan dengan penggaraman biasa susut berat setelah pengeringan cukup besar, yaitu 40-50 persen, sehingga hal itulah yang tidak menjadi daya tarik oleh para pengolah ikan. Kini, untuk terus memantapkan risetnya sehingga bisa dihasilkan menjadi produk yang bisa diakses semua kalangan, khususnya pengolahan ikan, Depertemen PHT FPIK-IPB melakukan riset lanjutan dengan menetapkan satu kawasan yakni di Muara Angke, Jakarta. Bukan pengawet Sementara itu, pakar Mikrobiologi Pangan dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), IPB)Dr Ir Ratih Dewanti, menegaskan bahwa formalin, yang sehari-hari lazim digunakan untuk mengawetkan jenazah di kamar-kamar mayat rumah sakit, sama sekali bukan bahan pengawet untuk pangan. "Formalin itu bukan pengawet pangan, namun itu merupakan antiseptik mikroba yang hanya digunakan pabrik dalam pengolahan produk non-pangan seperti plastik dan sebagainya. Dan Formalin sendiri sama sekali tidak boleh dipakai dalam pangan," katanya. Dengan pemahaman bahwa formalin sama sekali tidak bisa difungsikan sebagai bahan pengawet makanan --karena mengandung racun--akibatnya jika digunakan pada pangan, dan dikonsumsi oleh manusia akan menyebabkan beberapa penyakit diantaranya tenggorokan terasa panas, dan juga kanker yang pada akhirnya akan mempengaruhi organ tubuh lainnya, serta gejala lainnya. Ia mengatakan, sebenarnya ada alternatif lain yang dapat dilakukan oleh para pelaku usaha atau pembuat makanan dalam mengawetkan makanan, yaitu dengan menggunakan pengawet legal dengan dosis yang telah ditentukan, misalnya zat asam. "Atau ada perlakukan khusus terhadap proses pengolahan makanannya," katanya. Di antaranya, yaitu dengan mengadakan penyuluhan kepada produsen untuk menerapkan program sanitasi dan praktik produksi yang baik, kemudian menggunakan teknologi dalam menekan pertumbhan mikroba dengan cara aplikasi teknologi pendinginan di seluruh mata rantai (cold chain). Hanya saja, menurut Ratih Dewanti, perlu diingat pula bahwa penyimpanan dingin tidak akan memberikan perpanjangan waktu simpan sangat banyak, mengingat produk basah --seperti salah satunya mi basah yang tinggi kandungan airnya--apalagi bila jumlah mikroba awalnya sudah tinggi. Kemudian, kata dia, dalam alternatif pengawetan ini juga dapat mengaplikasikan formula pengawet yang diijinkan yang dibuat dari BTP (Bahan Tambahan Pangan) untuk menghambat mikroba. Selain itu, pengawetan juga bisa dilakukan mengaplikasikan teknologi lainnya seperti pemanasan, pengemasan atau kombinasinya untuk menginaktifkan mikroorganisme pembusukan dalam produk makanan basah itu. Mengenai ciri-ciri fisik yang dapat diamati pada produk-produk makanan yang mengandung formalin, dijelaskan bahwa terutama pada produk basah, bisa dilakukan yaitu dengan melihat bentuk fisik kaku, dan bila formalinnya yang terkandung banyak, maka akan memiliki bau yang begitu menyengat. Namun ciri-ciri fisik itu tidak akan terdeteksi bila kandungan formalin yang terdapat dalam makanan itu memiliki dosis yang rendah. "Untuk permasalahan ini, kita memerlukan uji laboratorium, karena secara fisik tidak dapat dirasakan dengan panca indera," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006