Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 293 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) inkonstitusional karena pengaduan kasus pencabulan anak yang diatur hanya dapat dilakukan korban, sepatutnya dapat pula dilakukan orangtua, wali, atau kuasanya.
“Ketentuan norma pasal 293 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban, akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orangtua, wali, atau kuasanya,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, dipantau dari Jakarta, Rabu.
Sebelum amar putusan dibacakan, Hakim Konstitusi Saldi Isra telah menyampaikan bahwa MK menilai, untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh anak yang menjadi korban pencabulan, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak yang dimaksud, laporan atau pengaduan dapat pula dilakukan oleh orangtua, wali, atau kuasanya.
Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan Nomor 21/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, Leonardo Siahaan selaku pemohon I dan Fransiscus Arian Sinaga selaku pemohon II.
Baca juga: Hakim MK dorong finalisasi RUU KUHP
Dalam permohonan pengujian materi KUHP terhadap UUD 1945 itu, para pemohon meminta MK menguji pasal 288 KUHP frasa “belum waktunya untuk dikawinkan”, Pasal 293 KUHP frasa “belum dewasa”, serta Pasal 293 ayat (2) KUHP terhadap UUD 1945.
Dari ketiga permohonan itu, MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, yaitu tentang pasal 293 ayat (2) KUHP yang bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 293 KUHP ayat (1) berbunyi bahwa barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Lalu pada Pasal 293 KUHP ayat (2), dinyatakan bahwa penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
Para pemohon menilai Pasal 293 ayat (2) KUHP tidak menjamin suatu perlindungan bagi korban pencabulan, khususnya anak, sehingga bertentangan dengan hak konstitusi korban sebagaimana dimuat dalam Pasal 28D UUD 1945 tentang salah satu hak asasi manusia, yaitu mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Baca juga: Pasal makar KUHP diuji ke MK
Ada pula Pasal 28G UUD 1945 yang mengatur perlindungan kehormatan dan martabat dari korban. Menurut para pemohon, korban yang mengalami psikis tentu tidak berani dalam melaporkan pelapor kepada pihak berwajib.
Dengan demikian, para pemohon menilai Pasal 293 KUHP ayat (2) menghambat korban untuk menuntut pelaku.
Berdasarkan uraian tersebut, MK memutuskan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan telah menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasa menurut hukum untuk sebagian,” jelas Hakim Konstitusi Saldi Isra.
MK pun memerintahkan pemuatan putusan itu dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya dan menegaskan menolak permohonan yang lain dari para pemohon.
Baca juga: Mucikari Robby Abbas gugat KUHP ke MK
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021