Jakarta (ANTARA News) - Puluhan siswa berusia sekolah dasar, laki-laki dan perempuan berbaris rapi menaiki panggung berhias bendera kebangsaan Malaysia di ruang kelas dari bangunan kayu sederhana berlantai semen di siang terik bersuhu 33 derajat celcius di perkebunan sawit di Tawau, Sabah, Malaysia.

Dengan sigap salah seorang dari siswa maju memberi aba-aba kepada siswa-siswa lainnya untuk mulai menyanyikan serangkaian lagu sebagai persembahan kepada rombongan tamu yang sedang mengunjungi Pusat Belajar Humana, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional bergerak di bidang pendidikan asal Denmark.

"Hiduplah Indonesia Raya......", suara tunggal pemimpin siswa memberi aba-aba yang kemudian diikuti oleh seluruh siswa yang kemudian serentak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Sejenak suasana kelas menjadi hening, rombongan tamu dari Jakarta dan Kuala Lumpur yang sedang berbincang-bincang ikut larut dalam keheningan dengan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia ciptaan Wage Rudolf Supratman itu.

Rombongan dari Jakarta dipimpin Kepala Subdit Program Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P2TK) Pendidikan Dasar Ditjen Dikdas Kemendiknas, Dr Sumarno dan Kepala Subdit P2TK Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Ditjen Dikdas, M.Hosnan M.Pd serta Atase pendidikan KBRI Kuala Lumpur Prof Rusdi, MA.

Suasana hening kemudian berubah jadi ceria saat siswa-siswa melanjutkan "medley" lagu-lagu perjuangan lainnya, "Garuda Pancasila" dan "Padamu Negeri", meski penuh semangat namun tetap saja tatapan mereka terlihat kosong sebab siswa siswi tersebut adalah anak-anak dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah belasan tahun bermukim di ladang-ladang sawit milik perusahaan-perusahaan Malaysia di Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Anak-anak yang orang tuanya antara lain berasal dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi dan Jawa itu lebih akrab dengan Bahasa Melayu dan sedikit Inggris, lagu-lagu Melayu dan segala sesuatu terkait dengan kondisi negeri jiran ketimbang negerinya sendiri Indonesia.

Ironisnya, meski para TKI telah belasan tahun bekerja di ladang sawit, nasib pendidikan anak-anak mereka menjadi terabaikan karena anak-anak dari TKI berstatus ilegal, tidak memiliki dokumen resmi kewarganegaraan serta tanpa akte kelahiran.

"Bagaimana mereka mau menyekolahkan anak-anak mereka jika begitu banyak kendala dihadapi, mulai status kewarganegaraan anak-anak yang tidak memungkinkan bersekolah di sekolah milik Malaysia, lokasi pemukiman yang jauh di pelosok ladang, hingga persoalan ekonomi yang menyebabkan orang tua memilih membiarkan anak-anak tidak bersekolah dan mengajak bekerja di ladang," kata Atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur, Prof Rusdi.

Hasil pemutihan data kependudukan keimigrasian Tahun 2009 yang dilakukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malayasia, menunjukkan untuk wilayah negara bagian Sabah, mencatat dari sebanyak 50.000 anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, baru sebanyak 10.000 anak yang terjangkau pendidikan dasar.

"Selebihnya sama sekali belum tersentuh pendidikan, dan jumlah tersebut akan semakin besar bila digabungkan dengan data anak-anak TKI yang berada di negara bagian lain, seperti Serawak dan sebagainya," katanya.

Sebanyak 8000 siswa dari jumlah 10 ribu anak-anak TKI tersebut telah mendapat layanan pendidikan menulis dan membaca dari sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional berpusat di Denmark yang mendirikan pusat-pusat belajar di ladang sawit yang mayoritas pekerjanya berasal dari Indonesia.

Yayasan Humana saat ini menjadi salah satu lembaga yang memperoleh pengakuan dan izin dari Pemerintah Malaysia untuk menyelenggarakan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI. Saat ini Yayasan Humana sudah mendirikan sebanyak 100 pusat belajar yang tersebar di ladang-ladang sawit di sejumlah negara bagian Malaysia dengan fokus utama melayani pendidikan bagi anak-anak TKI.


Guru Indonesia

Kehadiran Humana Child Aid Society di ladang-ladang sawit yang mayoritas dihuni puluhan ribu TKI telah membukakan jalan bagi Pemerintah Indonesia untuk menjangkau anak-anak Indonesia untuk memperoleh hak mereka atas pendidikan.

LSM tersebut memulai layanan bagi anak-anak pekerja asing di Sabah sejak tahun 1991 dengan fokus utama anak-anak pekerja asing yang berasal dari Indonesia dan Filipina.

Menurut Ketua Humana Torben Venning, di Sabah mengawali layanan sosialnya dengan beberapa temannya dengan mendirikan pusat bimbingan di ladang sekitar Lahat Datu, timur Sabah pada 1991. Selanjutnya, Humana mendirikan pusat-pusat belajar sekaligus menyediakan guru di ladang-ladang sawit dengan tujuan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk memperoleh pendidikan atau pendidikan untuk semua.

Ketua Humana, Torben Venning menyatakan awalnya mereka menemui kesulitan untuk meyakinkan pengelola perkebunan untuk berperan dengan memfasilitasi pendirian pusat belajar.

Namun dengan berjalannya waktu, maka para pengelola perkebunan telah menjadikan pendirian pusat belajar sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan.

"Kini jumlah pusat belajar Humana sudah mencapai 100 tempat dengan menjangkau sebanyak 8000 anak-anak TKI dengan jumlah guru-guru dari Indonesia yang semakin banyak," katanya.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk mendirikan sekolah Indonesia bagi anak-anak TKI di ladang-ladang sawit melalui berbagai pendekatan kepada Pemerintah Malaysia namun agaknya upaya tersebut tidak mudah terwujud.

"Pemerintah Malaysia hanya mengizinkan masuknya tenaga guru dari Indonesia ke pusat-pusat belajar Humana sehingga mulai tahun 2006 sebagai rintisan awal Kementerian Pendidikan Nasional mengirimkan 109 guru untuk mengajar di berbagai pelosok ladang sawit yang berada di wilayah Sabah," kata Kasubdit Program P2TK Dikdas Diten Dikdas Kemdiknas di sela-sela kunjungan ke Tawau, Sabah.

Pengiriman guru-guru Indonesia ke Pusat Bimbingan Humana memperoleh sambutan dari para pengurusnya mengingat mayoritas siswa adalah anak-anak TKI. Selain itu, pihak Humana bisa memahami keinginan pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan identitas negara kepada anak-anak yang sebagian besar masih belum mengenal tentang negaranya sendiri.

"Kami ingin agar anak-anak TKI ini memiliki kecintaan dan kebanggaan terhadap negara Indonesia sejak dini. Dengan mengirim guru-guru Indonesia, maka misi mereka tidak hanya mengajarkan baca tulis tetapi mengenalkan kepada anak-anak tentang seni dan budaya, lambang negara, geografis dan sebagainya tentang Indonesia," katanya.

Oleh karena itu, ujar Sumarno, seleksi untuk pemilihan guru Indonesia ke Sabah dilaksanakan melalui proses ketat, antara lain memiliki ketahanan mental dan keterampilan di luar kemampuan mengajar, seperti menguasai seni tari, memasak, bernyanyi dan sebagainya.

"Di sela-sela mengajar, kami ingin anak-anak Indonesia diperkenalkan dengan seni budaya Indonesia dalam bentuk sederhana, seperti lagu-lagu daerah, seni tari sebagai bagian dari ekstrakurikuler," tambahnya.

Kasubdit P2TK Pendidikan Khusus dan layanan Khusus, M.Hosnan menambahkan meski kurikulum yang diberikan adalah kurikulum Malaysia, dengan kehadiran guru-guru Indonesia, maka secara bertahap anak-anak TKI akan menerima mata pelajaran Indonesia seperti Bahasa Indonesia, geografi, pendidikan kewarganegaraan dan agama.

"Dengan kelonggaran yang diberikan kementerian pendidikan setempat, sejak beberapa tahun terakhir, anak-anak TKI sudah diperkenalkan dengan sebagian kurikulum Indonesia. Disamping itu, di kelas juga diperkenankan untuk memasang foto Presiden RI dan Wakil Presiden serta lambang Garuda Pancasila," katanya.

Selain pusat bimbingan atau pusat belajar yang diselenggarakan Yayasan Humana, Pemerintah Indonesia sejak tahun 2008 telah memiliki Sekolah Indonesia di Kota Kinibalu (SIKK) dan membina sebanyak sembilan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) pendidikan

nonformal di sejumlah lokasi serta learning center-learning center di wilayah kota.

Learning center diselenggarakan oleh masyarakat dan diperuntukkan bagi anak-anak TKI yang bekerja sebagai pedagang, pekerja sektor informal, supir taksi, penata laksana rumah tangga dan sebagainya.

Pemerintah Indonesia tidak berhenti menjangkau pendidikan bagi anak-anak TKI dengan status legal maupun ilegal untuk memperoleh hak atas pendidikan muntuk anak-anak TKI.

Berbagai upaya terus ditempuh, selain mengirimkan guru-guru Indonesia ke pusat bimbingan di perkebunan sawit di Sabah dan negara bagian lainnya berbagai pendekatan kepada Pemerintah Malaysia , juga sedang dilakukan untuk mendapatkan legalitas penyelenggaraan pendidikan non formal berupa pendidikan kesetaraan sehingga kelak anak-anak TKI dapat mengantongi ijazah tanda kelulusan di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.(*)


Z003 /A011

Oleh Zita Meirina
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011