Jakarta (ANTARA News) - Jangan datang ke Pulau Penyengat bersama pacar, karena usai anda menikmati keindahan fanorama di pulau yang berpenghuni sekitar 2 ribu, bakalan bubar alias putus.

Pulau Penyengat letaknya tak jauh dari Tanjungpura ibukota Provinsi Kepulauan Riau --, sekitar 15 menit menggunakan pompong atau perahu kecil bermesin tempel dengan kapasitas 15 orang. Atau sekitar 20 menit menggunakan perahu serupa jika ditempuh dari Pulau Batam.

Di Pulau ini, dari kejauhan, nampak indah dengan pemandangan khas etnis Melayu. Warna kuning nampak lebih dominan sebagaimana umumnya pada etnis Melayu. Keindahan semakin terasa ketika para penumpang pompong merapat ke dermaga yang berdekatan dengan Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat.

Bagaimana dengan cerita putus dengan pacar jika berkunjung ke pulau tersebut?

Banyak warga di pulau tersebut membenarkan bahwa jika berkunjung menyertakan calon isteri, tak terlalu lama pasangan bersangkutan menuai perpisahan. Dengan sebutan salin, pasangan berpisah tanpa diakhiri dengan pernikahan.

Karyawati Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Kepulauan Riau, Presti Susilawati, membenarkan cerita itu. Kendati argumentasi atau alasan yang dikemukakan dirasakan tak masuk akal, bagi seseorang yang sedang merindukan pasangan dianjurkan mengindahkan cerita yang berkembang di Pulau Penyengat itu.

"Keponakan saya, ketika masih kuliah, jauh hari sebelum berkunjung ke Pulau Penyengat sudah diingatkan agar tidak bersama pacarnya. Ia tak mengindahkan pesan saya, dan hanya dalam waktu sepekan, hubungannya putus dengan pacarnya," cerita Putri baru-baru ini.

Susi, panggilan Presti Susilawati, sangat menyayangkan peristiwa itu dapat terjadi. Padahal, pasangan muda-mudi itu sudah saling mencintai. Kedua orang tua mereka pun sudah sepakat akan menikahkannya. Tapi, jodoh malah menjauh.

Cerita itu pun disampaikan pula oleh pengemudi bentor (beca motor), Abdullah, yang biasa membawa wisatawan berkeliling pulau dengan ukuran sekitar 2,5 km x 750 meter dan berjarak sekitar 35 km.

"Banyak cerita putus hubungan karena berkunjung ke pulau ini membawa sang pacar," ujarnya ketika membawa penulis mengunjungi makam Raja Hamidah dan Raja Ali Haji, termasuk Raja Jafar yang menjadi bagian dari keluarga kesultanan Riau.

Sebetulnya, menurut para pengemudi bentor di kawasan Pulau Penyengat, soal pisah dengan pacar akibat berkunjung sambil "indehoy" tak selamanya benar.

Di kawasan pulau tersebut juga tak ada larangan secara tertulis dari pihak otoritas setempat yang menyebut tak dibenarkan berkunjung bawa pacar, jika dilanggar akan pisah dengan pacar.

Hal itu hanya mitos. Namun, bisa saja terjadi yang disebabkan memang yang bersangkutan harus pisah. "Bisa terjadi, karena pasangan yang tengah memadu kasih tak menemui kecocokan. Tak dapat persetujuan orang tua, atau karena alasan lain," kata seorang warga setempat.

Bukankah jodoh itu ada pada yang Mahakuasa dan ikhtiar dari orang bersangkutan. Allah sendiri sudah menegaskan, tak akan mengubah nasib seseorang atau kaum jika yang besangkutan tak mengubah dirinya sendiri. Jadi, dapat pasangan hidup bukan ditentukan dari berkunjung membawa pacar atau hal lain.

Tetapi yang jelas, kedatangan setiap orang ke Pulau Penyengat harus disertai niat dan kebersihan hati. Pulau ini harus bersih dan bebas dari perbuatan maksiat. Karena itu, soal pisah dengan pacar bisa jadi karena kedatangan mereka ke pulau itu oleh yang besangkutan disertai perbuatan tak terpuji.

Soal konsekuensinya, yang salah satu risikonya adalah pisah dengan pacar, hal itu soal lain. Yang jelas, pulau tersebut harus tetap terpelihara dari perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam.

Spirit Islam

Menjaga kesucian ke Pulau Penyengat menjadi penting, karena di kawasan pulau tersebut berdiri sebuah masjid raya Pulau Penyengat, yang kini sebagai simbol kebesaran kerajaan Melayu.

Kehadiran Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat sudah ratusan tahun menjadi inspirasi spirit umat Islam. Kini masjid tersebut bukan sekedar simbol bagi kemajuan umat Muslim, tetapi kehadirannya sebagai peneguhan kembali akan keyakinan umat Islam terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW.

Masjid ini merupakan peninggalan Sultan Riau, yang kekuasaannya menjangkau Johor dan Pahang di semenanjung Malaysia . Masjid dibangun pada 1832 dan hingga kini belum pernah mengalami perubahan sedikit pun. Temboknya masih utuh dengan ketebalan sekitar 40 hingga 50 cm, terbuat dari bata merah, kapur dan kuning telur, ungkap Raja Haji Abdul Rahman, ketua pengawas masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat.

Abdul Rahman menjelaskan, kesucian menjadi bagian penting di kawasan ini. Termasuk untuk kawasan Pulau Penyenggat, mengingat banyaknya kompleks pemakaman yang kini menjadi cagar budaya dan dijadikan sebagai obyek wisata relegius.

Belakangan kawasan tersebut, oleh warga setempat dan warga jiran: Singapura dan Malaysia , menjadi obyek wisata kubur. Bukan wisata sembayang kubur yang biasa diplesetkan kebanyakan orang yang berujung pada pemahaman musyrik.

Abdul Rahman bercerita, mihrab masjid dilengkapi ukiran dari Jepara buatan abad ke-18 dengan jumlah tiang 13 yang bermakna 13 rukun di dalam shalat empat menara sehinga mengandung makna 17 rakaat.

Ada dua lampu hias besar ditambah beberapa lampu antik sumbangan Supardjo Rustam ketika menjabat sebagai menteri dalam negeri. Masjid makin terasa antik ketika menyaksikan dua lemari kitab kuno berukiran Jepara. Belum lagi jam dinding antik buatan Eropa.

Kitab yang tersimpan di dalam lemari itu seluruhnya berasal dari Arab Saudi pada abad ke-18 silam. "Seluruhnya menggunakan huruf gundul," ia menjelaskan.

Bagi umat Muslim, berkunjung ke Pulau Penyengat sangat dianjurkan. Selain dimaksudkan untuk menikmati keindahan lingkungannya yang masih asri, sekaligus dapat melakukan shalat di masjid bersejarah setempat. Tentu, ada nilai lebih yang diperoleh, yaitu menghormati para tokoh Islam dalam menyebarkan keteladanan dari pulau tersebut.

Apalagi, Gurindam Dua Belas gubahan Raja Ali Haji terpampang di makam Raja Hamidah/Engku Puteri.

Bagi umat Islam, Gurindam Dua Belas yang berisi nasihat itu, memiliki nilai universal. Sebab, konten dari nasihat Raja Ali Haji itu dikemas dalam sastra Melayu dan mudah dipahami bagi generasi kini dan yang akan datang.

Jadi, tak heran karenanya, etnis Melayu sesungguhnya sudah lama menjadi bagian dari Islam. Di kawasan itu pula Melayu dan Islam tak dapat dipisahkan. Islam pun telah menjadi inspirasi bagi kejayaan etnis Melayu dimasa lalu dan dewasa ini.(*)
E001/A011

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011