"Untuk pemberantasan korupsi sektor swasta, antara swasta dengan swasta itu juga masuk di draf revisi UU Tipikor. Tapi `illicit enrichment` sedang diperdebatkan," kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, M Jasin, menjawab pertanyaan ANTARA di Jakarta, Jumat.
Tim bersama yang bertugas mengkaji ulang draf revisi UU Tipikor, menurut Jasin, mempertanyakan kemampuan KPK untuk dapat membuktikan asal muasal harta orang-orang kaya luar biasa yang jumlahnya ratusan ribu di Indonesia.
Ia mengatakan KPK bisa saja mulai menerapkan "illicit enrichment" tersebut, dengan menyeleksi dulu pejabat-pejabat eselon I ke atas. "Ini (illicit enrichment) memang masih dalam perdebatan dalam tim RUU itu. Tapi menurut saya lebih baik masuk sekarang saja".
Menurut dia, jika lembaga yang menjalankan kebijakan "illicit enrichment" tersebut memang belum mampu, tentu dapat diperbaiki secara bertahap. Tapi yang jelas meskipun bukan mandatory, penerapan "illicit enrichment" menjadi penting untuk dapat melakukan pembuktian terbalik.
"Saya rasa itu penting, asalnya (harta) darimana. Itu pendapat saya, mudah-mudahan dapat dukungan dari penggiat LSM," ujar Jasin.
Jika berkaca dengan tingkat keberhasilan KPK menguak korupsi melalui Laporan Kekayaan Harta Penyelenggara Negara (LKHPN), Jasin mengatakan hal tersebut tidak dapat menjadi acuan mengingat target LKHPN pemenuhan kewajiban pelaporan saja, walau dari kewajiban melapor tersebut terkadang ada yang jadi berperkara.
"KPK akan selektif, bukan berarti kurang staf untuk menjalankannya LKHPN atau pun `illicit enrichment`. Tapi yang jelas untuk bisa menjalankan `good governance` itu kan juga butuh biaya, (korupsi) jangan di diamkan saja, nanti malah disalahkan oleh anak cucu kita," tegas Jasin yang juga merupakan "Co-chair G20 Anti-corruption Working Group".
Dalam pasal 20 dari "United Nations Convention againts Corruption" (UNCAC), "illicit enrichment" merupakan tindak pidana jika ternyata dilakukan dengan sengaja. Apabila diketahui peningkatan yang signifikan dalam aset seseorang pejabat publik dan ia tidak dapat menjelaskan dalam kaitannya dengan pendapatannya yang sah maka dapat disebut "illicit enrichment".
(V002/C004)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011