Jakarta (ANTARA) - Lebih dari tiga dekade sejak kasus AIDS pertama di Indonesia ditemukan pada 1983 oleh Prof Zubairi Djoerban, hingga saat ini kasus infeksi baru HIV masih ditemukan.

Menurut data Kementerian Kesehatan, tren infeksi baru HIV di Indonesia menurun 43 persen dalam rentang waktu 2010 hingga 2020.

Baca juga: Pengobatan ARV bagi ODHA di masa pandemi COVID-19

Pada 2020, estimasi infeksi baru HIV berada pada angka 27.580 kasus. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang sempat mencapai 48.487 kasus.

Sementara jumlah total perkiraan orang dengan HIV tahun 2020 sebanyak 543.100 jiwa, lebih rendah dibandingkan 10 tahun lalu dengan estimasi sekitar 645.000 kasus.

Meski terdapat penurunan, namun jumlahnya belum secepat target yang disepakati global. Infeksi baru pada 2030 diperkirakan mencapai 21.270 kasus, angka tersebut kurang dari target penurunan sebesar kurang dari 5.000 kasus atau setara dengan 90 persen dibandingkan 2010. Artinya, masih terdapat sekitar 16.000 kasus baru yang menjadi pekerjaan rumah bersama.

Meski secara umum infeksi baru HIV mengalami penurunan, pada sisi lain jumlah infeksi pada perempuan bukan populasi kunci, seperti ibu rumah tangga, dan populasi kunci lelaki seks lelaki (LSL) mengalami peningkatan.

“Kalau yang lain, seperti pekerja seks, pengguna narkoba suntik, waria, transgender, itu cenderung infeksi HIV-nya menurun,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Siti Nadia Tarmizi kepada ANTARA.

Data laporan perkembangan HIV/AIDS dan IMS Kemenkes menyebutkan jumlah ODHA yang ditemukan periode Januari hingga Maret 2021 berdasarkan faktor risiko didominasi oleh LSL sebanyak 26,3 persen dan ibu hamil 20,9 persen.

Sementara itu, laporan pemodelan epidemi HIV Kemenkes 2020 menyebutkan populasi perempuan bukan populasi kunci diperkirakan masih memberikan kontribusi terbesar terhadap proyeksi jumlah infeksi baru HIV 2020 hingga 2024 sebanyak 35.400 atau 35 persen dari total proyeksi infeksi baru.

“Kasus ibu rumah tangga ini biasanya mereka mendapatkan dari pasangannya yang umumnya melakukan perilaku berisiko, misalnya seks berisiko atau pengguna narkotik,” ujar Nadia.

Kemenkes memiliki program untuk memberikan penawaran tes HIV kepada ibu hamil pada trimester pertama, terutama pada ibu dari kelompok berisiko. Namun di sisi lain, Nadia juga menyayangkan masih banyak suami yang enggan melakukan tes HIV, mengikuti apa yang sudah dilakukan istri atau ibu hamil.

Jika menengok laporan Kemenkes triwulan I tahun ini, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada jenis kelamin laki-laki juga masih tinggi, yakni mencapai 69 persen, sementara jenis kelamin perempuan berada pada kisaran angka 31 persen.

“Seringkali yang terjadi adalah ibu hamilnya dites tapi pasangannya ini denial. Mereka malah menyalahkan istrinya, padahal istrinya itu tidak pernah melakukan aktivitas keluar rumah dan dia kemungkinan besar terpapar dari suaminya,” kata Nadia.


Baca juga: Menjaga ODHA bertahan di tengah pandemi COVID-19

Baca juga: Kasus HIV/AIDS Kabupaten Bogor capai 2.616 orang

Baca juga: Kampanye HIV/AIDS di Maluku, melawan pandemi di tengah pandemi

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021