Yogyakarta (ANTARA News) - Politik beras nasional tidak pernah jelas bentuk dan arahnya, sehingga cenderung memposisikan nasib petani dan keberlanjutan sektor pangan semakin tidak menentu. "Politisasi petani saat ini sudah menggerogoti kedaulatan kaum tani. Petani selalu dikebiri oleh negara untuk selalu menjadi korban sistem pembangunan nasional yang semakin hari semakin zalim," kata pengamat pertanian dari UGM Dr Ir Mochammad Maksum di Yogyakarta, Jumat. Dalam perberasan nasional, menurut dia, politisasi itu sudah sangat akut dan telah menyentuh batas kemanusiaan dan kesabaran publik. Politisasi itu harus secepatnya dihentikan pemerintah, jika memang pemerintah tetap konsisten dengan pemihakannya kepada kaum tani. "Pemihakan kepada kaum tani tidak akan pernah terwujud jika politisasi itu tidak segera diberantas," kata peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM itu. Ia mengatakan, langkah yang harus dilakukan untuk menghentikan politisasi itu adalah dengan redefinisi kembali format politik pangan nasional secara cermat. Selama tidak ada kecermatan tujuan pembangunan sektor pangan dan perberasan, maka selama itu pula politik beras nasional akan semakin terkontaminasi oleh politisasi yang dilakukan para pialang tata niaga yang sementara ini memiliki banyak kaki-tangan di pemerintahan. "Berdasarkan redefinisi itulah, pemberantasan tikus-tikus `free rider` bisa segera dilakukan dengan seksama untuk tegak dan lurusnya kembali perjalanan politik pangan yang pro petani," katanya. Ia mengemukakan, politik pangan telah dikenal sejak adanya negara di dunia dengan berbagai tujuan yang beragam di antaranya meningkatkan pendapatan usaha tani, melindungi petani kecil dan mempertahankannya untuk tetap berada dalam kehidupan pedesaan. Selain itu, meningkatkan keswasembadaan dan mengurangi ketergantungan impor, menekan instabilitas harga dan pendapatan, serta menekan biaya konsumsi dan meningkatkan konsumsi pangan. "Namun, politik beras nasional tidak pernah menyentuh tujuan politik pangan tersebut, terutama dalam kaitan dengan pendapatan dan kesejahteraan kaum tani serta keberlanjutan pertanian," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006