Padang (ANTARA News) - Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, Prof. Dr. Eri Barlian, MS mengatakan, penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) lebih ramah lingkungan dibanding dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

"Jika melihat potensi dampak pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari pembangkit listrik, maka PLTN jauh lebih ramah lingkungan dibanding pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil," katanya di Padang, Kamis.

Ia menilai, ditinjau dari dampak lingkungan pada kondisi normal, PLTN justru memberi dampak positif lebih besar karena tidak menghasilkan limbah dalam volume besar yang dapat merusak lingkungan.

"Limbah radioaktif atau limbah nuklir pada dasarnya akan mengalami peluruhan dengan memancarkan radiasi yang secara berangsur-angsur akan turun dengan sendirinya," katanya.

Ia mengatakan, di beberapa negara teknologi pengolahan limbah radioaktif telah diterapkan pada PLTN dengan prinsip pengurangan volume, imobilisasi dengan sementasi dan penyimpanan lestari di tempat yang aman dengan sistem pengungkung radiasi.

Limbah radio aktif dari PLTN yang berupa bahan bakar bekas hanya muncul dalam waktu yang lama atau lebih kurang satu tahun sehingga penanganannya lebih efisien, katanya.

Jika dalam kondisi abnormal, katanya, tentunya BATAN sebagai badan kajian energi nuklir nasional telah membuat tindakan antisipatif guna mencegah terjadinya kesalahan pada prosedur pengamanan PLTN.

Menurut Eri, secara umum keselamatan reaktor nuklir terhadap lingkungan menduduki standar yang paling tinggi.

Dibanding PLTN, lanjutnya, limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil lebih berpotensi menghasilkan pencemaran lebih luas pada lingkungan seperti gas karbon hasil pembakaran yang juga disebut sebagai gas rumah kaca.

Efek gas rumah kaca ini, katanya, akan menyebabkan radiasi sinar infra merah dari bumi akan kembali ke permukaan bumi karena tertahan oleh gas rumah kaca.

"Seperti yang diketahui banyak masyarakat, hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global pada bumi," katanya.

Pemanasan global pada bumi, katanya, akan menimbulkan dampak turunan yang lebih panjang yakni mencairnya gunung-gunung es di kutub, meningkatnya suhu permukaan bumi, meningkatnya suhu air laut, meningkatnya tinggi permukaan laut, kerusakan pantai karena meningkatnya abrasi laut, dan hilangnya pulau-pulau kecil karena abrasi air laut.

"Pada tahun 2002 telah terjadi peningkatan suhu permukaan bumi sekitar lebih kurang 0,2 sampai 0,6 derajat celcius selama 100 tahun terakhir," katanya.

Tinggi air permukaan laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 centimeter atau sekitar 1-2 melimeter per tahun selama abad 20.

Untuk Indonesia sendiri dampak yang paling jelas dirasakan adalah adanya kenaikan suhu bumi yang mencapai 0,54 derajat celcius dari tahun 1950-2000.
(KR-AH/F002)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011