Banjarmasin (ANTARA News) - Bila dua dasawarsa lalu Kalsel masih bangga miliki "segudang" industri kayu lapis berorientasi ekspor, maka kini yang tersisa tak lebih dari kenangan belaka. Kebanggan yang kini berubah menjadi jeritan dan rintihan itu bukan saja terdengar dari pengusaha sendiri, tapi juga menimpa ribuan pekerja, baik yang terpaksa dikeluarkan (PHK), maupun gajinya dikurangi dari sebelumnya secara sepihak. Itu semua terjadi akibat keserakahan manusia yang tak mempertimbangkan keseimbangan lingkungan, dengan menguras habis kayu di hutan. Data menunjukkan Kalsel memiliki sekitar 1,6 juta hektar (ha) hutan, 751.252 ha di antaranya hutan lindung, dan sisanya (900.000 ha) hutan produksi. Itu hanyalah hitungan di atas kertas, tetapi diperkirakan kondisi sebenarnya sangat jauh dari itu. Persoalannya, dengan luas hutan yang masih tersisa, mampukah Kalsel menyediakan bahan baku bagi 18 unit pabrik kayu yang semuanya tergolong berskala besar? Mereka membutuhkan bahan baku kayu sedikitnya 2 juta M3 per tahun, padahal dari luas hutan Kalsel paling banter hanya bisa diperoleh 200 ribu M3 saja per tahun. "Sudah tahu kemampuan segitu, kenapa dulu mendirikan pabrik sebanyak itu, dengan investasi tak terhingga. Itu namanya keserakahan," demikian sering terdengar celotehan sinis dari masyarakat setempat. Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Sony Partono, mengakui bahwa Kalsel kini sangat sulit memenuhi kebutuhan pabrik akan bahan baku, karena kayu di hutan sana sangat kurang. Untuk memenuhi kebutuhan industri kayu Kalsel, jutaan M3 kayu gelondongan kini dipasok dari luar Kalsel, seperti Kaltim, Kalteng, Sulawesi, Maluku, Jawa, Papua, Sumatera, bahkan untuk lapisan atas kayu lapis ada yang didatangkan dari luar negeri. Kondisi itu diduga dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memasok kayu ilegal, sehingga kasus `illegal logging` (penebangan kayu liar) marak di wilayah ini, katanya. Menurut catatan lain, penebangan kayu secara ilegal ini terus berlangsung di Kalsel, sehingga memperparah kerusakan hutan. Terakhir, sedikitnya 500 ribu ha lahan Kalsel sudah rusak akibat penebangan kayu ilagal tersebut. Penebangan kayu itu tak lagi mengindahkan keramahan lingkungan. Pelakunya bahkan sampai membabat kayu di hutan lindung, termasuk di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, yang merupakan hutan resapan air Bendungan Riam Kanan. Bendungan ini juga merupakan sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sumber air bersih penduduk kota Banjarmasin dan sekitarnya. Dulu, kebutuhan Kalsel akan kayu industri cukup mengandalkan jenis kayu ekonomis saja seperti meranti. Namun, kini kayu apa pun dibabat habis, termasuk tanaman buah-buahan, untuk lapisan tengah kayu lapis (plywood). Keluhan tentang kian habisnya kayu buah-buahan antara lain diutarakan warga di kawasan Kabupaten Balangan, Tabalong, dan Hulu Sungai Tengah (HST). Saking rakusnya, kayu buah-buahan langka pun mereka sikat. "Banyak pohon `lahung` (buah famili duren warna kulit merah) usia ratusan tahun ditebang guna diolah menjadi papan. Padahal buah itu khas Kalimantan dan langka, hingga sekarang sulit ditemui lagi," kata Abdullah, warga Balangan memberi contoh. Tanaman lain yang juga ikut menjadi korban adalah pohon kemiri, kecapi, hambawang ((famili mangga-manggan/mangevera), kupang, pampakin, serta pohon lain yang bentuk batangnya besar. Akibat sulitnya kini mencari bahan baku kayu, banyak perusahaan kayu Kalsel sekarat. Dari 18 pabrik kayu lapis, empat di antaranya sudah gulung tikar, sementara 14 lainnya kini kehidupannya sudah kembang-kempis. Sebelumnya, ke-18 perusahaan itu masing-masing mempekerjakan sekitar 2.000 buruh. Menurut pengusaha kayu lapis, mereka beroperasi sebenarnya kasihan terhadap nasib buruh saja, karena kalau mereka di-PHK perusahaan juga harus memberikan pesangon dalam jumlah yang relatif besar. "Yang penting bagi kami, industri tetap jalan setidaknya mampu untuk menutupi biaya operasi, serta menampung kehidupan ribuan buruh itu," kata pengusaha yang enggan disebutkan namanya. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalsel, Adi Laksono, menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan pasokan kayu Kalsel menurun, antaranya kayu di hutan kurang, ditambah aturan pengurangan jatah tebang hutan (JTH) Kalsel dari 56 jadi 52 ribu M3 per tahun. Bukan hanya pabrik kayu lapis skala besar menjerit kekurangan kayu, tapi juga kehidupan industri kecil kayu gergajian milik rakyat kecil. Sebagai gambaran, dari 1500 unit industri gergajian rakyat, kini tinggal 450 unit saja. Pihak industri kayu gergajian setempat pernah melakukan unjuk rasa ke DPRD Kalsel belum lama ini, untuk memprotes ketentuan pemerintah tentang pembatasan pemanfaatan kayu. Unjuk rasa itu antara lain dilakukan pengusaha serta buruh industri gergajian di Desa Alalak pinggiran kota Banjarmasin. Mereka mendesak agar pemerintah membolehkan penggunaan kayu limbah (paparan) dibuat kayu gergajian, guna menghidupi kelanjutan usaha yang telah mereka geluti secara turun-temurun itu. Bukan hanya ribuan pekerja kayu gergajian mengganggur akibat kesulitan bahan baku itu, ribuan buruh pabrik kayu lapis juga terpaksa dirumahkan selama beberapa tahun belakangan ini. Kepala Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) Kalimantan Selatan, M.Kurdiansyah mengakui dalam tahun 2005 saja, 450 karyawan terkena PHK, belum termasuk korban pada tahun-tahun sebelumnya yang jumlahnya ditaksir mencapai ribuan orang, sebagian besar kasus PHK itu terjadi di lingkungan perusahaan kayu.(*)
Oleh Hasan Zainuddin
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006