Jepang ditargetkan bisa mencapai energi bebas karbon pada tahun 2050, sedangkan Indonesia diharapkan bisa menyusul pada tahun 2060.
Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggandeng Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di Jepang untuk mengkaji sistem energi bebas karbon.
Jepang ditargetkan bisa mencapai energi bebas karbon pada tahun 2050, sedangkan Indonesia diharapkan bisa menyusul pada tahun 2060.
Paparan tersebut disampaikan oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Jepang dan Federasi Mikronesia, Heri Akhmadi dalam rilis yang diterima di Malang, Jawa Timur, Minggu.
"Indonesia beruntung karena ada banyak pakar Nusantara yang mendalami energi. Salah satunya Prof. Dr. Eng. Muhammad Aziz, yang diharapkan bisa memberikan pencerahan kajian terkait perubahan energi. Dengan begitu, Indonesia bisa memproduksi dan memanfaatkan energi demi masa depan yang lebih baik," katanya.
Ia mengatakan sampai sekarang ekspor utama Indonesia didominasi oleh batu bara dan gas. Padahal, 10-20 tahun ke depan Indonesia tidak mungkin mengekspor itu lagi. Oleh karena itu, harus ada tahapan-tahapan yang ditempuh untuk melakukan upaya transformasi energi.
Sementara itu, Wakil Rektor IV UMM Dr Sidik Sunaryo menilai bahwa isu energi yang ada di SDGs sangat penting. Banyak hal yang perlu dikerjakan, seperti menemukan sumber daya energi yang murah dan berkelanjutan serta bisa diandalkan di zaman modern seperti sekarang.
“Perlu juga mempertimbangkan visibility dan affordability dari energi tersebut, sehingga bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh manusia,” ucapnya.
Sidik berharap setelah para peserta (mahasiswa) memahami terkait energi bebas karbon, ada program lanjutan, salah satunya agenda diskusi bersama dengan para sivitas akademika di UMM untuk mengembangkan ide-ide yang dipaparkan oleh Prof Muhammad Aziz, sehingga bisa menjadi pintu pembuka agar lebih intensif dalam riset terkait isu-isu energi.
Ketua Ilmuwan Indonesia Internasional Prof. Dr. Eng. Muhammad Aziz mengatakan dalam riset energi bebas karbon ini membutuhkan kolaborasi yang memberikan dampak besar. Tidak hanya bagi kedua belah pihak, tapi secara luas ke masyarakat. Jenisnya bisa joint, collaboration maupun co-creation, sehingga, bisa membangun capacity building di berbagai tempat.
“Kita ambil contoh China. Banyak profesor dari China yang menjadi besar di Eropa dan Amerika serta memiliki koneksi kuat, sehingga bisa memberikan dampak besar bagi negara asalnya,” tambah Aziz.
Prof Aziz mendorong agar riset yang dikerjakan bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama. Maka pemilihan topiknya juga harus bijak dan cerdas. Begitu juga dengan mutual atau open innovation. Sayangnya, di Indonesia masih berada pada tahap close innovation.
Menurut Aziz, topik riset energi sangat luas. Selama manusia ada, riset terkait energi tidak akan pernah habis. Sumber energi yang dimiliki Indonesia banyak, hanya saja bagaimana menyediakan energi dengan harga yang mungkin dan terjangkau.
Ia menyebutkan beberapa energi carbon free yang potensial bagi manusia, di antaranya electricity, chemical energy, heat dan metal fuel. Meski memiliki potensi besar, masih ada beragam tantangan yang harus diselesaikan.
“Satu di antaranya adalah bagaimana mengubah primary energy menjadi secondary energy. Sangat tidak mungkin jika kita membawa batu bara atau bio mass ke mana-mana. Maka perlu adanya banyak kolaborasi antara kita semua agar bisa menjawab dan melewati beragam tantangan yang ada,” pungkasnya.
Baca juga: Tim Robotika UMM siap menerbangkan pesawatnya di ajang UAV di Turki
Baca juga: Mahasiswa FK-UMM rancang inovasi sarung tangan cegah saraf terhimpit
Baca juga: Mahasiswa UMM buat beras analog dari kulit manggis untuk diabetes
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021