"Dalam masa penahanan polisi itulah intel bisa menginterogasi."
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, menilai bahwa kewenangan penangkapan tidak perlu masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen mengingat kewenangan itu sudah dimiliki kepolisian.
"Intelijen memang perlu mendapat informasi dari pelaku kejahatan, tapi kan bisa menggunakan kesempatan pada waktu penahanan oleh kepolisian," ujarnya, di Jakarta, Senin.
Kewenangan menangkap oleh intelijen menjadi salah satu poin dalam RUU Intelijen yang masih menjadi ganjalan, selain lamanya waktu penahanan. Penentangan terhadap poin kewenangan penangkapan itu, antara lain lantaran sejumlah kalangan khawatir adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses itu.
Jika kewenangan itu dimasukkan dalam RUU intelijen dan disahkan, maka Badan Intelijen Negara (BIN) dapat melakukan penangkapan dan menginterogasi seseorang untuk jangka waktu 7 x 24 jam.
Ansyaad menambahkan, Indonesia dapat mengadopsi cara intelijen Australia, yakni intelijen berwenang menginterogasi, tapi tak berhak menahan. "Dalam masa penahanan polisi itulah intel bisa menginterogasi," tuturnya.
Ia mengakui, kekhawatiran adanya pelanggaran HAM dalam setiap kegiatan intelijen karena trauma terhadap kegiatan intelijen di masa lalu yang cenderung tidak tertutup dan tidak dapat dikontrol.
"Tapi sekarang kontrol struktural dan politis begitu kuat, saya kira tidak ada alasan untuk takut terhadap intelijen. Bahkan, DPR sekarang bisa memanggil Kepala BIN setiap saat," ujar Ansyaad.
Ia mengatakan, tanpa intelijen yang kompeten, maka aparat Indonesia hanya dapat bertindak reaktif, yakni baru bereaksi jika peristiwa gawat telah terjadi.
(T.R018)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011