Yogyakarta (ANTARA News) - Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi harus dikawal untuk mencegah kemungkinan adanya pembonceng gelap dari pihak-pihak yang justru ingin melemahkan kinerja komisi tersebut, kata Ketua ASEAN Caucus on Anticorruption Todung Mulya Lubis.
"Hal itu perlu dilakukan karena selama ini saya melihat masih kuatnya upaya pelemahan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," katanya pada dialog interaktif "Perlukah Undang-undang KPK Direvisi?" di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, contoh dari upaya pelemahan itu di antaranya kasus kriminalisasi komisioner KPK, rivalitas sesama penegak hukum, dan pelemahan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
"Salah satu penyebab tugas dan kinerja KPK tidak efektif adalah ambivalensi tugas dengan jaksa atau polisi," katanya.
Ia mengatakan, selain masalah penegakan hukum, tugas dan fungsi pencegahan, koordinasi hingga supervisi jangan sampai ditinggalkan karena tidak kalah penting. Apalagi dengan melihat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang masih mencapai 2,8.
"Jika Indeks Persepsi Korupsi kita mencapai lima, misalnya, mungkin baru berani kita kembalikan tugasnya ke kejaksaan lagi," katanya.
Anggota DPR Fahri Hamzah mengatakan, revisi UU KPK perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana yang terjadi hingga kini dan merespons kecenderungan perkembangan hukum yang akan datang.
"Dalam revisi tersebut diharapkan nantinya semua kasus korupsi ditangani KPK. Konsekuensinya keberadaan KPK harus menjadi sebuah lembaga permanen yang ada di seluruh Indonesia," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, KPK sebagai sebuah sistem akan memiliki wibawa, jelas, dan tegas dalam tugasnya.
Ia mengatakan, dengan adanya revisi diharapkan KPK memiliki "mindset superior" karena sudah dilindungi undang-undang.
"Dengan payung hukum yang sudah dimiliki itu KPK nantinya tidak akan memiliki `beban` bersaing dengan lembaga penegak hukum lain seperti kejaksaan atau kepolisian," katanya.
(ANTARA/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011