Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Arsa Ilmi Budiarti mengimbau Kejaksaan RI untuk memastikan setiap jaksa penuntut umum (JPU) melakukan pengidentifikasian dampak dan kerugian dari kejahatan kekerasan seksual yang dialami para korban.
“Kejaksaan perlu untuk memastikan bahwa jaksa penuntut umum itu mengidentifikasi dampak (kekerasan seksual), baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Kemudian, mengajukan pemulihan atau restitusi untuk korban sesuai Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021,” ujar Arsa Ilmi Budiarti.
Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri dalam diskusi publik IJRS bertajuk “Refleksi Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual” yang disiarkan langsung di kanal YouTube IJRS TV, dipantau dari Jakarta, Jumat.
Arsa pun mengapresiasi adanya Pedoman Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Di dalamnya, ujar dia, sebenarnya telah diatur sejumlah hak korban kekerasan seksual, seperti mengajukan layanan pemulihan dan restitusi berdasarkan pertimbangan dari jaksa penuntut umum terhadap dampak yang mereka alami. Oleh karena itu, sudah sepatutnya jaksa penuntut umum memedomani hal itu.
Kemudian, Arsa menegaskan imbauan tersebut didasarkan hasil penelitian IJRS terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang melalui proses di pengadilan sejak tahun 2018 sampai 2020.
Di dalam pemaparannya, Arsa mengatakan mayoritas dampak dan kerugian dari kekerasan seksual yang dialami korban adalah 78 persen dampak psikis dan 43,8 persen dampak fisik. Di samping itu, ada pula dampak berupa kehamilan, finansial, putus sekolah, dikucilkan oleh masyarakat, foto tersebar, bahkan kematian.
“Begitu besar dampak-dampak ini dialami oleh korban kekerasan seksual dan data ini mayoritasnya anak-anak,” ucap Arsa.
Namun dari dampak-dampak yang besar itu, lanjut dia, IJRS menemukan bahwa sebanyak 19,2 persen perempuan korban kekerasan seksual tidak mengajukan permohonan pemulihan dan hanya sekitar 0,1 persen yang menerima restitusi.
“Sisanya, tidak ada informasi mengenai mekanisme pemulihan yang diberikan kepada perempuan korban kekerasan seksual,” tambah Arsa.
Dia juga menilai prinsip keadilan restoratif dapat tercapai melalui sikap tegas jaksa penuntut umum dalam memberikan hak korban kekerasan seksual berdasarkan dampak yang mereka alami.
“Memang diperlukan penindakan kekerasan seksual yang tidak hanya berfokus pada penghukuman pelaku, tetapi juga cara memulihkan korban sesuai prinsip keadilan restoratif,” tutup Arsa Ilmi Budiarti.
Baca juga: LPSK ingatkan lindungi kebutuhan anak korban perkosaan di pesantren
Baca juga: Komnas Perempuan: Penanganan kasus kekerasan perempuan masih lemah
Baca juga: Komnas Perempuan: SPPT PKKTP jamin pemulihan korban kekerasan seksual
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021