Jakarta (ANTARA News) - Empat tahun lalu, ketika rumusan Piagam Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) masih dalam proses pembahasan, sempat muncul pertanyaan tentang kemungkinan ASEAN menjelma menjadi duplikat Uni Eropa.
Apalagi dengan adanya sejumlah upaya untuk menghilangkan batas-batas dan perbedaan yang ada, misal dengan adanya usulan mengenai pemberlakuan visa ASEAN dan mata uang tunggal ASEAN.
Pada kesempatan itu, Ali Alatas (almarhun--red) --mantan menteri luar negeri sekaligus salah satu tokoh kunci dibalik lahirnya Piagam ASEAN-- menyangkal jika ASEAN hanya akan sekedar menjadi duplikat Uni Eropa.
Menurut dia, ASEAN tidak akan mungkin seperti Uni Eropa karena negara-negara anggota ASEAN adalah negara-negara berkembang. Uni Eropa sudah jauh di depan atau setidaknya sudah mulai lebih dahulu.
Situasi di Eropa berbeda dengan Asia Tenggara sehingga apa yang tepat dan bagus untuk negara Eropa belum tentu akan baik juga untuk ASEAN.
Namun, tentu hal itu tidak menghentikan ASEAN untuk mengumpulkan masukan dan belajar dari pengalaman sejumlah organisasi kawasan yang lain karena bukan tidak mungkin apa yang dilakukan organisasi-organisasi tersebut dapat dimodifikasi oleh ASEAN.
Mengenai hal itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya saat membuka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bisnis ASEAN-UE di Jakarta, Kamis (5/5) mengakui jika Uni Eropa memang memiliki pengalaman yang lebih panjang, terutama di bidang integrasi ekonomi dan pembangunan komunitas. Ia mengatakan bahwa ASEAN telah dan akan terus belajar dari pengalaman Uni Eropa.
Uni Eropa yang meski masih mempertahankan kedaulatan masing-masing tetapi memiliki arah menuju integrasi sosial dan ekonomi.
Untuk membawa ASEAN selangkah lebih dekat dengan mimpinya menciptakan kawasan Asia Tenggara yang tanpa batas dan damai maka pada pekan ini para pemangku kepentingan di negara-negara anggota ASEAN mulai merancang sistem untuk pemberlakuan ASEAN visa dalam tahun-tahun mendatang.
Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa prosedur itu diharapkan bisa terwujud pada 2015 mendatang bersamaan dengan terbentuknya masyarakat ASEAN.
"Tapi membuat ASEAN visa butuh upaya khusus karena rezim visa setiap negara berbeda," katanya.
Visa ASEAN adalah pemberlakukan sistem dimana pihak ketiga yaitu warga negara di luar ASEAN dapat berkunjung ke semua negara anggota ASEAN hanya dengan satu proses pengurusan visa.
Hal yang serupa berlaku dengan sistem visa di Uni Eropa.
Namun demikian ia mengatakan masih memerlukan proses yang panjang karena perlu menyesuaikan dengan prosedur pembuatan visa di masing-masing negara ASEAN.
Yang saat ini proses pembahasan sudah berlangsung dan lebih dari sekedar konsep adalah mengenai bebas visa bagi negara-negara anggota ASEAN.
"Antar negara ASEAN sudah lebih dari konsep, tapi belum utuh, fondasinya bilateral agreement, meski konsepnya keseluruhan ASEAN namun terdiri bilateral agreement," katanya.
Pada 25 Juli 2006 di Kuala Lumpur ke sepuluh negara ASEAN telah menandatangani Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN mengenai Pembebasan Visa. Persetujuan ini berfungsi sebagai rujukan bagi negara-negara anggota ASEAN dalam rangka memberikan kemudahan bagi warganya untuk masuk ke negara anggota ASEAN lainnya dengan ketentuan yang telah disepakati. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Persetujuan dimaksud pada tanggal 22 Mei 2009 (Keppres 19 tahun 2009).
Organisasi Elite
Para elite ASEAN boleh bermimpi untuk mewujudkan suatu Masyarakat ASEAN 2015 dengan melebur batas-batas yang ada menuju ASEAN yang satu. Meneguhkan komitmennya untuk menjadi organisasi yang berbasis masyarakat pada 2015.
Namun, pada kenyataannya ternyata masih sedikit warga masyarakat yang mengetahui tentang ASEAN di luar lingkaran pemerintahan. Akibatnya acap kali ASEAN hanya dipandang sebagai ajang "bincang-bincang" kaum birokrat kawasan.
Oleh karena itu sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN (ACSC)/Forum Rakyat ASEAN (APF) menyatakan harapannya untuk dilibatkan dalam perumusan kebijakan ASEAN.
Ketua panitia pengarah ACSC/APF Indah Sukmaningsih menilai masyarakat sipil memiliki peran besar mengubah kepribadian ASEAN yang elitis sehingga keterlibatan masyarakat sipil sebaiknya diinstitusionalisasi agar hal yang akan diusulkan kepada pemerintah negara-negara dapat lebih terprogram.
"Kenapa masyarakat sipil? Karena kamilah yang paling mengerti apa yang terjadi di lapangan, jadi APF ini bertujuan sebagai jalan untuk menerima masukan masyarakat sehingga sebelum mereka (para pemimin ASEAN -red.) bertemu, mereka akan mendengar masukan dari kita dan menjadi bahan pertimbangan untuk pembahasan dalam KTT," jelas Indah.
Sementara itu koordinator kawasan Komite untuk Advokasi Asia Tenggara Consuelo Corinna A. Lopa mengatakan bahwa sebelum para elit ASEAN membawa ASEAN ke kancah global hendaknya negara-negara ASEAN terlebih dahulu melindungi rakyatnya dalam globalisasi kali ini.
Menurutnya sebelum membicarakan mengenai komunitas global penting juga untuk membangun komunitas ASEAN sendiri. Ia menilai prinsip organisasi yang berbasis masyarakat itu seharusnya tergambarkan dalam seluruh pilar ASEAN yaitu politik, ekonomi dan sosial budaya.
"Bila ASEAN membicarakan pilar ekonomi, jangan membicarakan mengenai pasar namun juga bagaimana meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat dan tidak hanya melihat tingkat pertumbuhan perekonomian," ungkap Loi.
Ia menilai komunitas global yang diwujudkan hendaknya adalah komunitas global yang adil bukan hanya yang terintegrasi tapi tersubordinasi dalam tatanan internasional.
Menjelang abad ke-21, ASEAN menyepakati untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun 2020.
Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur tahun 1997. Untuk merealisasikan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yang menyetujui pembentukan Masyarakat ASEAN dan target tersebut dipercepat menjadi tahun 2015.
Untuk menjadikan ASEAN sebagai asosiasi yang berdasarkan hukum dan menjadi subyek hukum, telah ditandatangani Piagam ASEAN pada tahun 2007 yang setelah diratifikasi oleh 10 negara anggota ASEAN, Piagam ini mulai berlaku pada 15 Desember 2008. (*)
G003*P008*KR.DLN/Z002
Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011