Jakarta (ANTARA News) - Badan Arbitrase Nasional Indonesia memerintahkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama membayar utang-utangnya kepada PT Pertamina (Persero).
Presiden Direktur PT Tuban Petrochemical Industries, induk usaha TPPI, Amir Sambodo, di Jakarta, Minggu, membenarkan pada Selasa (3/5) BANI telah mengabulkan gugatan Pertamina dengan meminta TPPI membayar utang ke Pertamina sekitar 104 juta dolar AS.
"Putusan BANI tersebut sejalan dengan rencana restrukturisasi utang TPPI ke Pertamina," katanya.
Bahkan, lanjutnya, TPPI direncanakan akan membayar utang ke Pertamina senilai 375 juta dolar AS atau lebih besar dari keputusan BANI.
Menurut dia, sedianya penandatanganan restrukturisasi utang senilai 375 juta dolar AS tersebut dijadwalkan pada Selasa pekan lalu.
"Namun, karena belum ada persetujuan komisaris Pertamina, akhirnya tertunda. Saat itu, alasannya, menunggu keputusan BANI," katanya.
Sesuai perjanjian, lanjutnya, pembayaran utang senilai 375 juta dolar AS terselesaikan 60 hari setelah penandatanganan restrukturisasi.
"Artinya, TPPI sudah membayar ke Pertamina sekitar bulan Juli atau lebih cepat dari keputusan BANI pada September 2011," ujarnya.
Ia menambahkan, semestinya penandatanganan restrukturisasi sudah tidak ada masalah lagi, karena PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) sudah setuju.
"Tinggal menunggu komisaris, karena direksi Pertamina pun sudah tidak ada masalah lagi," ujarnya.
Amir berharap, penandatanganan restrukturisasi utang TPPI ke Pertamina tersebut segera terealisasi.
Anggota Komisi VII DPR Dito Ganinduto meminta TPPI segera membayarkan utangnya sesuai keputusan BANI tersebut.
"Segera dibayarkan agar masalah utang-piutang ini segera selesai," katanya.
Apalagi, lanjut Anggota Dewan dari Fraksi Partai Golkar itu, TPPI juga telah mendapat komitmen pinjaman senilai satu miliar dolar AS dari Deustche Bank.
Menurut dia, penyelesaian utang-piutang tersebut diharapkan membuat kilang milik TPPI kembali beroperasi dan Pertamina juga bisa berkosentrasi pada hal lainnya.
Namun demikian, lanjutnya, Pertamina mesti memperjuangkan pembayaran denda dan bunga utang atas TPPI tersebut.
Berdasarkan catatan, per 31 Desember 2010, utang termasuk bunga dan denda TPPI berupa delayed payment note (DPN) senilai 269,1 juta dolar AS.
Utang tersebut merupakan kompensasi atas kegagalan TPPI mengirimkan produk BBM berupa middle distillate products (MDP) ke Pertamina.
Jumlah utang tersebut bertambah sekitar 50 juta dolar AS setiap enam bulan sekali, jika TPPI gagal mengirimkan MDP.
Pada 10 Maret 2010, Pertamina mengajukan permohohan arbitrase ke BANI karena TPPI tidak beritikad baik menyelesaikan utangnya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu telah mengirimkan setidaknya lima permohonan gagal bayar atau notice of actionable default (NOAD) ke TPPI. Namun, hal itu selalu ditolak TPPI dengan menerbitkan notice of dispute (NOD).
Proyek pembangunan kilang TPPI dirintis Grup Tirtamas pada 1995.
Namun, saat krisis 1997, Tirtamas terbelit utang dan masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sehingga proyek TPPI terhenti.
Pada 2002, Tirtamas dan BPPN sepakat merestrukturisasi utang dengan membentuk induk usaha PT Tuban Petrochemical Industries (TPI) yang di antaranya mengelola TPPI.
Kesepakatannya adalah 70 persen saham TPI dimiliki BPPN yang selanjutnya menjadi PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan 30 persen dikuasai PT Silakencana Tirtalestari milik Honggo Wendratmo.
Dengan demikian, TPI memiliki 59,5 persen saham TPPI.
Selanjutnya, Honggo menerbitkan obligasi (multiyear bond/MYB) senilai Rp3,2 triliun kepada BPPN.
(T.K007/R010)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011