konsumsi minuman beralkohol sebenarnya sudah diatur
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol yang masuk Prolegnas 2022 ini tidak menyasar permasalahan sesungguhnya dalam masyarakat, tetapi malah menangani hal-hal yang tidak ada urgensinya,

“Konsumsi minuman beralkohol sebenarnya sudah diatur dan dikendalikan lewat peraturan di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun RUU tersebut justru membawa minuman beralkohol ke arah yang baru, yaitu pelarangan,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan pembatasan minuman beralkohol sudah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan juga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol beserta perubahan-perubahannya, termasuk Permendag Nomor 25 Tahun 2019. Selain itu, berbagai peraturan terkait juga sudah dikeluarkan dan diterapkan pada tingkat daerah.

Data WHO menunjukkan bahwa konsumsi alkohol di Indonesia terbilang rendah, hanya 0,8 liter per kapita dan didominasi oleh konsumsi alkohol illegal dan oplosan sebanyak 0,5 liter per kapita dan sebanyak 0,3 liter lainnya merupakan konsumsi alkohol legal. Lebih lanjut, studi CIPS tahun 2016 di enam kota di Indonesia menunjukkan, alih-alih mengurangi keinginan seseorang untuk mabuk, RUU ini malah berpotensi memfasilitasi tumbuhnya pasar gelap.

Baca juga: Wamenag: Kaji komprehensif RUU Larangan Minuman Beralkohol
Baca juga: Anggota DPR sarankan RUU Larangan Minuman Beralkohol fokus pengaturan

Penelitian CIPS juga menunjukkan bahwa jumlah toko minuman beralkohol meningkat lebih dari 75 persen dibandingkan tahun 2010, ketika minuman beralkohol masih legal dan banyak tersedia dengan harga terjangkau.

Minuman beralkohol ilegal juga justru banyak memakan korban yang jumlahnya terus meningkat. Dari 149 orang pada tahun 2008-2012 menjadi 487 orang pada tahun 2013-2016. Pantauan media oleh CIPS menunjukkan sebanyak 1,086 orang tewas mulai 2008 hingga akhir 2020 akibat minuman oplosan. Sementara 655 lainnya harus dirawat.

“Bahaya minuman oplosan dan pasar gelap akibat pelarangan juga penting untuk dipikirkan alih-alih melakukan pelarangan lewat RUU ini,” jelasnya.

Baca juga: PPP dan PKS bertemu bahas kerja sama kawal tiga rancangan UU
Baca juga: Baleg sepakat bentuk Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol

Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah potensi meningkatnya jumlah peminum di bawah umur yaitu yang berusia di bawah usia 21 tahun akibat maraknya penjualan minuman beralkohol secara daring.

Potensi peningkatan ini didasarkan pada lemahnya pengawasan atas mekanisme pembelian lewat platform daring. Ketiadaan kepastian hukum dari segi regulasi serta data akurat mengenai besarnya pasar penjualan daring minuman beralkohol, dan juga banyaknya jenis platform daring semakin mempersulit pengawasan.

Penelitian CIPS berjudul “Reformasi Kebijakan untuk Akses Online Minuman Beralkohol yang Aman di Indonesia” memberikan beberapa rekomendasi terkait pengaturan penjualan di platform daring, termasuk perlunya reformasi kebijakan, penggunaan pendekatan pengaturan bersama atau koregulasi dalam mencegah konsumen di bawah umur.

Rekomendasi lain yaitu adanya mekanisme pendaftaran/perizinan pedagang resmi untuk mencegah penjualan alkohol ilegal melalui platform daring dan juga membebankan liabilitas hukum kepada pedagang di platform ini.

Baca juga: Wakil Ketua Baleg: Minol rusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara

Baca juga: PHRI: RUU Larangan Minuman Beralkohol negatif bagi pariwisata

Baca juga: MUI dukung RUU larangan minuman beralkohol

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021