Jakarta (ANTARA) - Seiring ramai-ramai pembicaraan mutasi virus corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, ada satu "virus" juga yang merebak dan menyebar di sekujur tubuh Nusantara dan terus mengalami mutasi.
Virus tersebut bernama korupsi. Seperti virus SARS-CoV-2 yang bermutasi karena ingin bertahan hidup dalam inangnya, begitu juga korupsi bermutasi karena ingin tetap bertahan sehingga dapat lebih mudah menyebar dan menghindari sistem imun.
Contohnya dalam dua dekade terakhir kasus-kasus korupsi merebak dengan tingkat kecepatan luar biasa dan sulit ditangkal oleh sistem hukum yang ada karena tersebar dalam berbagai konfigurasi.
Pertama, korupsi dilakukan secara berjamaah dalam relasi suami dan istri, ayah/ibu dan anak, paman dan keponakan, kakak dan adik, pejabat dan ajudan, pengacara dan kliennya.
Contoh pasangan suami istri yang berpadu dalam kasus korupsi antara lain adalah perbuatan korupsi mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan istrinya Neneng Sri Wahyuni.
Nazaruddin terlibat dalam korupsi wisma atlet SEA Games 2011, proyek Hambalang hingga tindak pidana pencucian uang, sementara Neneng Sri Wahyuni terlibat dalam korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) pada 2012.
Nazaruddin bahkan sempat melarikan diri ke Kolumbia sementara Neneng kabur ke Malaysia dan Singapura sebelum ditangkap di Pejaten, Jakarta. Nazaruddin lalu dipidana 13 tahun penjara dan Neneng 6 tahun.
Contoh kedua adalah eks Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya Nurlatifah yang dipidana karena melakukan korupsi izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lahan (SPPL) PT Tatar Kertabumi pada 2015. Ade Swara lalu divonis 6 tahun penjara sedangkan Nurlatifah 5 tahun penjara.
Ketiga adalah mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dan istrimnya Evy Susanti. Pasangan suami istri tersebut terlibat kasus suap pada Juli 2015.
Keduanya terbukti memberi suap kepada tiga hakim dan panitera di PTUN Sumatra Utara senilai 15 ribu dolar AS dan 5.000 dolar Singapura melalui pengacara senior OC Kaligis. Gatot juga terlibat kasus korupsi bantuan sosial.
Gatot kini menjalani hukuman 12 tahun penjara, sementara istrinya sudah bebas setelah menjalani hukuman 2,5 tahun penjara.
Tidak hanya persoalan suap-menyuap, pasangan suami istri ada juga yang dijerat dengan sangkaan tindak pidana korupsi yang melawan hukum dan merugikan keuangan negara, yaitu pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sjamsul yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Itjih diduga menjadi pihak yang mendapat keuntungan untuk diri sendiri dan orang lain sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun. Namun keduanya hingga kini tidak berada di Indonesia sehingga perkembangan kasus tersebut masih mandek.
Terbaru adalah kasus yang menjerat suami istri Bupati Probolinggo non-aktif Puput Tantriana Sari dan Suaminya Hasan Aminuddin yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Agustus 2021.
Puput dan suaminya diduga menjadi penerima gratifikasi senilai Rp20 juta ditambah setoran tanah kas desa dari para ASN yang ingin menjabat sebagai Plt kepala desa di kabupaten Probolinggo.
Selain suami dan istri, relasi ayah/ibu dan anak juga dapat menjalin perbuatan korupsi.
Contohnya adalah Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna dan anaknya Andri Wibawa yang menjadi tersangka kasus dugaan korpsi pengadaan barang darurat Covid-19 pada April 2021.
Dalam sidang 4 November 2021 lalu, majelis hakim pengadilan Tipikor Bandung memutuskan Aa Umbara bersalah dan divonis 5 tahun penjara serta wajib membayar uang pengganti sebesar Rp2,379 miliar namun Andri dinyatakan bebas. Terhadap vonis bebas Andri tersebut, KPK masih mengajukan kasasi.
Jauh sebelum kasus Aa Umbara dan Andri, pada 2013 ada mantan anggota Komisi VIII DPR, Zulkarnaen Djabar dan anaknya, Dendy Prasetya yang terlibat dalam kasus suap pengadaan Alquran dan laboratorium di Kementerian Agama.
Keduanya pun divonis bersalah. Zulkarnaen dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 300 juta sedangkan sang anak divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Baca juga: Firli Bahuri: Jadikan korupsi musuh bersama layaknya melawan COVID-19
Dalam kasus lain, tidak tanggung-tanggung suami istri serta anak menjadi terpidana kasus korupsi.
Adalah Direktur Utama PT Wijaya Kusuma Emindo (WKE) Budi Suharto bersama-sama dengan istri Lily Sundarsih dan dua anaknya, yaitu Irene Irma dan Yuliana Enganita Dibyo menyuap empat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) senilai Rp4,959 miliar.
Tujuannya adalah agar memperlancar pencairan anggaran kegiatan proyek di Kementerian PUPR yang dikerjakan oleh PT Tashida Sejahtera Perkasa (TSP) dimana Irene menjadi direktur utamanya. Keempatnya lalu divonis 3 tahun penjara pada Mei 2019.
Sementara perkara korupsi yang melibatkan atasan dan sekretarisnya adalah kasus yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy.
Edhy Prabowo pada 21 Oktober 2021 dijatuhi hukuman 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena dinilai terbukti menerima suap senilai 77 ribu dolar AS dan Rp24.625.587.250 dari pengusaha terkait ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur sementara Amiril Mukminin divonis 4,5 tahun penjara.
Menurut majelis hakim, Amiril menjadi orang yang mengatur uang keluar masuk Edhy Prabowo, termasuk yang diterima dari para pengusaha dan dimasukkan ke rekening PT Aero Cipta Kargo (ACK) dimana Edhy Prabowo menempatkan tiga orang sebagai penerima deviden.
Setelah Edhy menerima uang dari PT ACK selajutnya uang digunakan untuk membeli tanah, membayar sewa apartemen, membeli mobil, jam tangan, sepeda, merenovasi rumah, pembayaran bisnis buah-buahan, pembelian barang di Amerika Serikat serta memberikan uang ke berbagai pihak seperti sekretaris pribadi, staf ahli, penyanyi dandut, pesilat dan pihak lainnya.
Korupsi juga dilakukan secara berjamaah oleh sesama penyelenggara negara seperi kasus korupsi DPRD Sumatera Utara periode 2019-2014 yang melibatkan 14 orang anggota DPRD yang menerima suap "uang ketok" dalam jumlah bervariasi dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Masih ada 41 anggota DPRD kota Malang yang terjerat kasus penerimaan suap dari bekas Wali Kota Malang Moch Anton terkait pengesahan Rancangan Perda tentang Perubahan APBD 2015. Akibatnya, hanya tersisa 5 orang dari total 45 anggota DPRD Malang yang tidak menjadi tersangka karena perkara tersebut.
Tidak ketinggalan 12 orang anggota DPRD provinsi Jambi 2014-2019 yang menjadi tersangka penerimaan suap terkait pengesahan RAPBD Jambi tahun anggaran 2017-2018. Suap untuk pengesahan RAPBD Provinsi Jambi 2017 adalah senilai Rp12,9 miliar dan untuk RAPBD 2018 senilai Rp3,4 miliar sementara besaran yang diterima masing-masing anggota DPRD bervariasi antara Rp100 juta hingga Rp200 juta per orang.
KPK mencatat pejabat negara dari lembaga legislatif menjadi yang paling banyak kedua dan kepala daerah menjadi pihak terbanyak ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Tersangka paling banyak yang ditangani KPK masih berasal dari swasta pada periode 2017-2021.
Rinciannya, tersangka KPK dari kalangan swasta pada periode 2017-2021 adalah sebanyak 202 orang, dari kalangan legislatif adalah sebanyak 169 orang dan dari kalangan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) adalah sebanyak 88 orang.
Selain itu, korupsi tidak hanya terjadi di ibu kota negara atau ibu kota provinsi, melainkan juga sampai ke kabupaten hingga desa-desa.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada semester I 2021, pemerintah desa menjadi lembaga pelaku korupsi terbanyak. Tercatat ada 55 kasus korupsi yang dilakukan aparat pemerintah desa dengan total kerugian negara mencapai Rp35,7 miliar, diikuti oleh pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota dengan masing-masing 60 dan 17 kasus.
Sedangkan sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa. Antara 2016-2017 sbanyak 110 kepala desa menjadi tersangka korupsi, bertambah menjadi 263 orang sepanjang satu semester tahun 2020. Kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan oleh aparatur desa mencapai total Rp111 miliar.
Dana Desa memang pertama kali dikucurkan pada 2015 sejumlah Rp20,8 triliun, selanjutnya pada 2016 bertambah menjadi Rp46,9 trilun, pada 2017 dan 2018 bertambah lagi menjadi Rp60 triliun, pada 2019 adalah Rp70 triliun, selanjutnya pada 2020 dan 2021 adalah senilai Rp72 triliun.
Lantas bila korupsi telah menunjukkan mutasi yang menyebabkan krisis karena mengaburkan nilai keadilan dengan mengaburkan batas antara yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma, hingga tidak menumbuhkan rasa bersalah sehingga setiap orang yang masuk kestruktur kekuasaan cenderung untuk melakukan tindakan koruptif, bagaimana mengatasi mutasi virus korupsi tersebut?
Baca juga: ICW: Suap dan pungli jadi modus korupsi terbanyak pelayanan publik
Penanganan virus mutasi
Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan dalam Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) tahun 2021 meminta agar metode pemberantasan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) harus disempurnakan.
Tindakan luar biasa yang dimaksud Presiden Jokowi ternyata ditujukan untuk menekankan langkah-langkah pencegahan korupsi.
Penindakan jangan hanya menyasar peristiwa hukum yang membuat heboh di permukaan namun dibutuhkan upaya-upaya yang lebih fundamental, upaya-upaya yang lebih mendasar, dan lebih komprehensif yang dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat.
Menurut Presiden Jokowi, upaya penindakan sangat penting untuk dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu, bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan efek menakutkan (detterrence effect) kepada yang berbuat.
Tidak ketinggalan, Presiden Jokowi mengingatkan "asset recovery" dan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Asset recovery' dan PNBP juga harus diutamakan untuk penyelamatan dan pemulihan keuangan negara serta memitigasi perbuatan koruspi sejak dini.
Hal-hal tersebut, menurut Presiden Jokowi dibutuhkan karena masyarakat menilai pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini belum baik.
Presiden Jokowi menyebutkan dalam satu survei nasional di bulan Nvember 2021 masyarakat menempatkan pemberantasan korupsi sebagai permasalah kedua yang mendesak untuk diselesaikan. Urutan pertama yang diinginkan oleh masyarakat adalah penciptaan lapangan kerja (37,3 persen), urutan kedua adalah pemberantasan korupsi (15,2 persen) dan urutan ketiga adalah harga kebutuhan pokok mencapai (10,6 persen).
Apabila ketiga hal tersebut dilihat sebagai satu kesatuan, tindak pidana korupsi adalah menjadi pangkal permasalahan yang lain. Korupsi bisa menggangu penciptaaan lapangan kerja, korupsi juga bisa menaikkan harga kebutuhan pokok.
Namun apakah penekanan pada pencegahan korupsi dan peningkatan pengembalian kerugian negara memang menjadi resep manjur untuk pemberantasan (mutasi) virus korupsi?
Robert Kligaard dalam bukunya "Memberantas Korupsi" kunci untuk mencapai perubahan keadaan dari "korup" menjadi "tidak korup" adalah adalah mengubah kebijakan dan sistem, bukan (hanya) memburu satu atau dua penjahat, bukan mengeluarkan imbauan agar semua orang meningkatkan moralitas masing-masing.
Klitgaard menyampaikan korupsi memiliki formula C = M + D – A (Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability). Selama ada monopoli plus wewenang minus akuntabilias maka selama itu pula akan terus ada korupsi.
Jangan harap kampanye antikorupsi yang semata-mata hanya mengatakan "jangan menyuap dan jangan mau menerima suap" akan menghasilkan perubahan. Jangan juga berpikir bahwa korupsi hanya karena manusia tidak bermoral dan melangar hukum serta mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya (meski ini benar).
Upaya anti-korupsi pun banyak yang gagal karena pendekatan yang dilakukan semata-mata bersifat pendekatan hukum, atau sebaliknya terlalu bertumpu pada himbauan moral. Kadang-kadang upaya anti-korupsi juga dilakukan setengah hati dan bahkan berubah menjadi alat untuk menjatuhkan lawan ke dalam penjara (Klitgaard, 2005).
Akhirnya bagaimana menemukan pendekatan yang efektif untuk memberantas korupsi?
Karena korban korban utama dari korupsi adalah masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung artinya korupsi bukan hanya urusan pemerintah. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika masyarakat ikut aktif memberantasnya.
Sama seperti kampanye gencar pemerintah untuk melakukan 3M demi menghambat virus penyebab COVID-19, maka masyarakat dalam berbagai cara dapat ikut mencari dan menemukan bentuk parstisipasi pemberantasan korupsi di lingkungan masing-masing.
Partisipasi tersebut penting karena seperti selv yang semakin lama berada di dalam tubuh manusia, maka semakin besar kesempatan virus untuk memperbanyak diri dan bermutasi
Maka untuk mencegah kelanjutan mutasi virus, perlu tindakan pencegahan dengan protokol kesehatan yang telah dirumuskan para ahli.
Pertanyaan tepat yang harus diajukan sekarang adalah apakah para ahli pemberantas virus korupsi dalam hal ini penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan Agung dan Polri adalah ahli yang tepat dan jeli untuk merumuskan protokol pencegahan mutasi virus korupsi?
Baca juga: Wapres: Korupsi ibarat karat gerogoti besi pembangunan
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021