Jakarta (ANTARA News) - Perdana Menteri Kerajaan Kamboja Hun Sen mendesak para pemimpin Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mendukung dan mengambil upaya-upaya yang diperlukan agar seluruh pihak terkait dalam sengketa perbatasan Thailand-Kamboja bekerja sama dan menerima tim pemantau perbatasan dari Indonesia.
Dalam pidatonya dalam sesi utama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-18 Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Balai Sidang Jakarta, Sabtu, PM Hun Sen menegaskan bahwa citra dan kredibilitas ASEAN akan terancam jika upaya guna mewujudkan sebuah gencatan senjata yang permanen tidak diwujudkan segera seperti yang telah direncanakan.
"Saya mengharapkan sebuah gencatan senjata yang permanen, yang akan dijamin dengan kehadiran tim pemantau dari Indonesia, yang akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyelesaian damai sengketa perbatasan kedua negara itu," katanya.
PM Hun Sen berharap penempatan segera tim pemantau perbatasan di kawasan perbatasan yang menjadi sengketa untuk mengawasi gencatan senjata yang disepakati dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pada Febuari 2011.
Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kamboja telah mencari penyelesaian damai sengketa perbatasan tersebut berdasarkan hukum-hukum internasional yang selaras dengan semangat Piagam ASEAN.
Pemerintah Kamboja, kata dia, mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatur penempatan tim pemantau di perbatasan guna mengawasi gencatan senjata.
"Saya menguncapkan terima kasih yang besar kepada Indonesia atas peran aktifnya untuk memediasi penyelesaian konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja," katanya.
Sementara itu PM Thailand Abhisit Vejjajiva dalam tanggapannya atas pidato PM Hun Sen, mengakui bahwa konflik terbuka antara Thailand dan Kamboja dapat mempengaruhi kredibilitas ASEAN. "Kami harus memastikan bahwa setiap permasalahan harus diselesaikan, di tingkat lokal, bilateral dan jika diperlukan difasilitasi kawasan," katanya.
PM Abhisit berulang kali menekankan bahwa mekanisme penyelesaian konflik perbatasan secara bilateral masih berjalan dan menyebut Pemerintah Kamboja sengaja ingin membawa permasalahan itu ke tingkat internasional.
"Masalah ini bisa diselesaikan secara bilateral," tegasnya.
Namun, kata dia, kami menyambut peran fasilitasi dari ASEAN dan mengapresiasi peran Indonesia dalam hal itu.
"Ada sejumlah isu teknis yang harus dibahas... Saya menyambut baik tawaran dari tuan rumah (Indonesia) untuk menyelenggarakan pertemuan dengan Kamboja dan Thailand. Saya tidak memiliki masalah membahas masalah ini dengan PM Hun Sen. Ini akan memberikan pemahaman yang baik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam beberapa bulan terakhir," katanya.
Sengketa perbatasan itu berawal dari satu peta yang dikeluarkan pada 1908 oleh kartografer Prancis untuk menetapkan perbatasan Thailand-Kamboja, ketika Kamboja masih di bawah koloni Prancis.
Prancis mengatakan, perbatasan harus diputuskan menurut garis batas air di sepanjang jarak gunung Dongrak, dalam peta mereka candi Preah Vihear terletak di ketinggian 525 meter, dengan jalan turun berada di wilayah Kamboja, dan sebagian lainnya di wilayah Thailand.
Thailand kehilangan candi itu pada 1962 ketika sengketa atas kepemilikan candi itu dibawa ke Pengadilan Internasional di Den Haag.
Pengadilan memutuskan kepemilikan candi kepada Kamboja, namun sengketa garis perbatasan masih terus berlangsung hingga sekarang.
Sengketa atas candi Preah Vihear merebak kembali pada 2008 ketika Kamboja mengusulkan candi yang terletak dalam kompleks seluas 4,6 kilometer itu sebagai Warisan Dunia kepada UNESCO.
Usulan tersebut disetujui UNESCO, 7 Juli 2008, meskipun kemudian ditentang oleh Thailand.
Saat ini, tentara kedua belah saling berhadapan di seberang perbatasan masing-masing di sekitar candi Prear, yang terletak di antara provinsi Si Sa Khet dan Phrea Vihear, sekitar 400 kilometer di timurlaut Bangkok.(*)
(Tz.G003*F008*D013)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011