Makassar (ANTARA News) - Angka kejadian kasus (prevalensi) sakit gigi di Indonesia masih cukup tinggi akibat lemahnya edukasi atau pendidikan tentang pentingnya merawat kesehatan gigi dan mulut.
"Kondisi itu terjadi karena masyarakat belum menyadari pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut," kata pendiri Dentist Galerry, drg. Liza Ramdhani Wiyonoputri, di sela-sela seminar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) di Makassar, Jumat.
Menurut dia, selain rendahnya tingkat kesadaran masyarakat memelihara kesehatan gigi dan mulut, juga karena kesadaran masyarakat untuk datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah.
Dia mengatakan, dua persoalan yang masih menjadi kendala di kalangan masyarakat, sehingga prevalensi sakit gigi masih tinggi yakni edukasi dan biaya.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKIRT) pada tahun 1995, penyakit gigi dan mulut yang ditemukan di masyarakat masih berkisar penyakit yang menyerang jaringan keras gigi (karies) dan penyakit periodontal, yang menyatakan bahwa 63 persen penduduk Indonesia menderita kerusakan gigi aktif yang berlum ditangani.
Pengalaman karies perorangan rata-rata (DMF-T atau Decay Missing Filling-Teeth) berkisar antara 6,44 dan 7,8 yang berarti telah melebihi indeks DMF-T yang telah ditetapkan oleh organisasi kesehatan sedunia (World Health Organization/WHO), yaitu 3. Adapun untuk prevalensi penyakit periodontal menunjukan 42,8 persen.
Sementara itu, kesadaran masyarakat untuk datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah.
Hal tersebut, menurut alumni Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu, terlihat dari 87 persen masyarakat yang mengeluh sakit gigi tidak berobat, 12,3 persen masyarakat yang mengeluh sakit gigi datang berobat ke fasilitas kesehatan gigi sudah dalam keadaan terlambat.
Akibatnya, ia mengemukakan, dari rata-rata 6,4 persen gigi yang rusak 4,4 persen sudah dicabut, dan 0,7 persen mencari pengobatan tradisional.
Berkaitan dengan fenomena tersebut, lanjut Liza, kerusakan gigi juga dapat dipicu oleh kondisi lingkungan, misalnya dari hasil penelitian di beberapa tempat, ternyata ditemukan daerah yang kadar fluornya nol seperti di Kalimantan, Sulawesi, Jambi sehingga prevalensi kariesnya tinggi.
"Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan gigi itu, sudah ada alat yang dapat mengatur gigi dalam ruang mulut yang sangat terbatas yang disebut Ezspacer," katanya.
Dia mengatakan, alat berbentuk per yang pertama kali ditemukan Lee Ju-Yeong dan diperkenalkan penggunaannya Indonesia tiga tahun silam dibantu Roh Gyeong Min dari Regional Innovation Center for Dental Science and Technology, Gwang Ju, Korea Selatan.
Hanya saja, diakuinya, penggunaan alat yang fungsinya melebihi kawat gigi ini, masih terbatas di kalangan para dokter gigi yang membuka praktik, sehingga ke masa depan diharapkan rumah sakit daerah sudah mengadopsi alat tersebut yang kemudian lebih mudah dijangkau oleh masyarakat umum.
(T.S036)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011