Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, LPSK menilai jika pemberian JC tidak sesuai ketentuan, tidak hanya berpotensi membahayakan penegakan hukum, tetapi juga berpotensi membuka celah baru terjadinya korupsi.
"Ketentuan soal justice collaborator ini menstimulus terbitnya PP Nomor 99 Tahun 2012 yang memberi syarat tambahan bagi terpidana korupsi, terorisme, dan narkotika untuk mendapatkan hak-hak narapidana dengan mensyaratkan sebagai JC," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.
Edwin mengungkapkan, MA baru saja membatalkan pasal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mensyaratkan narapidana harus mendapatkan status JC untuk memperoleh hak-haknya.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang pada perjalanan berubah menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014 ini, kata dia, memperjelas syarat penanganan khusus dan penghargaan kepada justice collaborator.
"Secara normatif yuridis, hanya UU Nomor 31 Tahun 2014 yang mengatur secara jelas tentang justice collaborator," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Edwin, pemberian status JC sudah seharusnya merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 2014. Ketidakpatuhan aparat penegak hukum dalam prosedur penetapan JC merupakan hal serius sebab penyelenggara negara menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan semata-mata harus berdasarkan peraturan perundangan-undangan.
"Ketidakpatuhan terhadap UU ini dapat membuat legitimasi keputusan yang diambil menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu, bahkan menimbulkan kecurigaan atas motifnya," katanya lagi.
Dari informasi yang berhasil dihimpun LPSK, saat ini terdapat 209 narapidana korupsi yang mendapat status JC dari penegak hukum, yaitu 22 dari KPK, 14 dari Polri, dan 173 dari kejaksaan.
Informasi lain yang tak kalah menarik, penegak hukum juga telah mengeluarkan 27.124 status JC bagi mereka yang berstatus narapidana terkait dengan tindak pidana narkotika. Dengan perincian: BNN sebanyak 74 narapidana, Polri sebanyak 9.245 narapidana, dan kejaksaan 17.804 narapidana.
Di sisi lain, ungkap Edwin, dalam kurun waktu 2015 sampai dengan 2020, LPSK hanya menerima 28 permohonan JC. Angka tersebut sangat jauh dari total penerbitan status JC oleh penegak hukum terkait dengan tindak pidana korupsi dan narkotika yang merupakan bagian dari tindak pidana prioritas LPSK.
"Data JC tersebut menimbulkan pertanyaan yang patut menjadi perhatian aparat penegak hukum, siapa mereka yang diberikan status JC itu? Kapan status itu diberikan? Apa kontribusi para JC tersebut dalam mengungkap tindak pidana?" ucapnya.
Ketimpangan ini, menurut dia, menjadi informasi penting bagi publik dalam kaitannya untuk mengetahui fenomena pemberian status JC, khususnya terkait dengan kepatuhan penegak hukum dalam memberikan status JC sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Edwin menekankan poin terpentingnya adalah bagaimana mengawal akuntabilitas pemberian status JC sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
Oleh karana itulah pada momen peringatan Hari Antikorupsi Internasional, LPSK mengajak aparat penegak hukum untuk melaksanakan pemberian status JC sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Harapannya agar semangat dan tujuan pemberian status JC bisa terlaksana dengan baik. Utamanya dalam mendukung pengungkapan pelaku korupsi sampai ke akar-akarnya," pungkasnya.
Baca juga: Jaksa tak masukkan permohonan "justice collaborator" eks penyidik KPK
Baca juga: Anggota DPR dukung pendekatan "restorative justice" korupsi dana desa
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021