Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau semua pihak agar melihat sejarah melalui prespektif yang jernih dan jujur, dan harus dimaknai sebagai masa lalu demi perbaikan di masa mendatang. Imbauan tersebut disampaikan Presiden saat membuka Peringatan Ke-40, Tritura (tiga tuntutan rakyat) di Gedung Bidakara, Jakarta, Kamis. "Saya tidak ingin melihat sejarah hanya untuk memelihara luka lama dan untuk mengedepankan kembali sejarah, tetapi justru kejujuran terhadap sejarah yang harus diberi penghargaan," kata Presiden. Hadir dalam acara itu sejumlah tokoh, seperti Ketua MA Bagir Manan, Wakil Ketua MPR AM Fatwa, serta sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu. Lebih jauh Presiden mengingatkan agar sejarah jangan dipermainkan dan apapun yang terjadi dan dilakukan pemimpin masa lalu dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah bagian dari sejarah. Presiden juga mengatakan bahwa nilai dan semangat yang ada dalam Tritura masih sangat relevan dengan kondisi sekarang ini. Pada kondisi saat ini, relevansi dari Tritura lebih ditekankan pada komitmen ideologis, terhadap kebenaran dan keadilan, serta komitmen terhadap kesejahteraan rakyat, katanya. "Komitmen ideologis, semangat yang ada yaitu menekankan pada falsafah bangsa yang bertumpu pada Pancasila dan UUD 45, bukan komunis," katanya. Selanjutnya komitmen terhadap keadilan yakni adanya kegusaran terhadap aparat negara yang tidak bersih dan komitmen pada kesejahteraan rakyat adalah tuntutan terhadap kondisi dimana harga-harga barang sulit dijangkau oleh masyarakat. Dalam kesempatan itu, Presiden Yudhoyono juga mengakui bahwa pemerintah dan penyelenggaraan negara sekarang ini belum mencerminkan tampilan sebuah pemerintah yang bersih (clean government) dan juga belum mencerminkan pemerintah yang baik (good government). "Oleh karena itu, adalah perjuangan kita semua untuk melanjutkan komitmen dalam membangun pemerintah yang lebih baik, bersih, responsif, terbuka dan memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat," katanya. Buku Sejarah Nasional Sementara itu, rencana penerbitan delapan jilid buku Sejarah Nasional yang akan memaparkan perjalanan peradaban dari masa pra-sejarah hingga reformasi bukanlah suatu upaya untuk membenarkan kekeliruan yang ada pada enam jilid buku Sejarah Nasional yang terbit pada masa Orde Baru. Pernyataan tersebut diungkapkan editor utama buku itu, sejarawan Taufik Abdullah, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, Selasa lalu. "Buku itu 'totaly new', sesuatu yang berbeda tidak usah dibandingkan. Jika buku yang dulu bertolak dari sistematika rapi,maka yang sekarang lebih menyerupai ensiklopedia," kata Taufik yang baru saja merayakan ulang tahun ke-70. Lebih lanjut Taufik mengatakan agar buku yang dahulu tetap ada dan menjadi salah satu buku yang perlu dilihat. "Secara umum, buku ini akan mencoba menceritakan semua hal secara keseluruhan misalnya jika buku yang dulu seolah-olah lebih banyak berkisah tentang Jawa,maka diharapkan yang ini akan lebih lengkap tidak hanya Jawa," katanya. Dia mencontohkan bahwa buku itu antara lain akan bercerita tentang terbentuknya Pulau Sulawesi dan mengupas alasan tentang Sulawesi yang memiliki flora dan fauna berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Taufik yang menolak berbicara lebih lanjut tentang sisi politis buku tersebut, terutama terkait dengan peristiwa-peristiwa yang diyakini cukup sensitif dalam perjalanan sejarah Indonesia, mengatakan ada sekitar 80 orang penulis yang terdiri atas para pakar, peneliti dan bahkan saksi sejarah dari seluruh penjuru Indonesia. Pada kesempatan itu, Taufik mengatakan tidak tertutup kemungkinan jika pihak yang memiliki kekuasaan selalu ingin menguasai sejarah. "Naskahnya diharapkan siap pertengahan tahun ini, karena terlalu ambisius ingin memasukkan semua hal maka jadi lambat," katanya. Tim penulis sejarah ini didukung oleh Dewan Penasihat Prof Dr Sartono Kartodirdjo, Prof Dr Ibrahim Alfian, dan Dr IGN Anom, dengan Ketua Editor Umum Prof Dr Taufik Abdullah, dan Editor Umum Prof Dr AB Lapian. (*)
Copyright © ANTARA 2006