Jakarta (ANTARA News) - Sejak 1 Januari 2010, Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) praktis berlaku. Sejumlah negara diuntungkan oleh pakta dagang bebas ini, namun beberapa lainnya dilaporkan merasa dirugikan, diantaranya yang sering disebut adalah Indonesia dan Vietnam.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya dari volume masuknya barang China ke dalam negeri, volume impor Indonesia dari China per Maret 2011 mencapai 1,37 miliar dolar AS, padahal sebulan lalu angka itu masih bertengger di 1,34 miliar dolar AS.

Masih meminjam data BPS, defisit perdagangan produk non migas Indonesia-China pada priode sama mencapai 668 juta dolar AS atau naik 327 juta dolar AS dibanding Januari 2011.

Itu gambaran makronya saja. Menukik sektor produksi, kebanyakan produsen lokal kecil maupun besar merintih karena tak bisa bersaing dengan produk murah nan masif China. Namun faktanya produk domestik juga kerap kalah juga kualitasnya dari buatan China.

"Usaha boneka saya hampir gulung tikar gara-gara produk China," kata Desi Fitriani (28), produsen boneka rumahan di Ciputat, Tangerang Selatan, kepada ANTARA (4/4).

Desi terang-terangan mengaku tak sanggup menghadapi gempuran boneka-boneka asal China, apalagi dia hanya pengusaha bermodal kecil.

Dia merasa berani untuk bersaing dalam inovasi dan kualitas, tapi tidak dalam soal harga. Desi juga menghadapi masalah pelik karena bahan baku boneka yang dibuatnya ternyata didatangkan dari China. Sempurnalah sudah kesulitan yang dihadapi Desi

Ia mencontohkan harga satu buah boneka ukuran sedang buatannya dilepas pada harga Rp50 ribu, sedangkan produk China dengan kualitas sama diharga hanya Rp35 ribu. Harga sebesar ini buatnya baru untuk ongkos produksi.

"Oleh karena itu, mustahil bagi saya bersaing dengan produk China," katanya.

Kini dia hanya mengandalkan teman-teman dan jaringannya agar bisa bertahan di rel bisnis. Dia tak berani melepas produknya dengan membanting harga, karena akan rugi besar.

Lain halnya dengan Dody Suprayogo (30). Pengusaha kaos yang menjual produksinya lewat Distro (Distribution Store) di Jakarta mengaku perdagangan bebas tak membuat bisnisnya oleng.

"Modal saya kreativitas dalam menjalankan bisnis kaos sehingga saya tidak khawatir pada barang-barang China," katanya

Tim kreatif Dody selalu meneliti apa yang disukai konsumen, dan selalu membuat produknya seeksklusif muungkin sehingga siapapun tak bisa menirunya, termasuk produk China.

"Semakin kreatif dan eksklusif sebuah produk, maka akan semakin disukai pasar," katanya.

Namun pria lulusan sebuah sekolah tinggi ekonomi di Jakarta ini menilai Indonesia belum saatnya mengadopsi perdagangan bebas, apalagi industri China disokong habis-habisan pemerintahnya.

Diuntungkan

Sebaliknya, kalangan niaga dan juga pembeli, merasa lebih banyak diuntungkan oleh sistem manajemen ekonomi liberal itu. Beberapa diantaranya sudah bagiakan penyalur produk China.

"Di toko saya, bisa dibilang 90 persen barang dari China," kata Rustam Effendi (52), penjual tekstil China di pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Rustam memaparkan, produk tekstil buatan China begitu mudah didapatkan dan harganya lebih murah ketimbang produk serupa yang dibuat di dalam negeri. Kualitasnya pun disukai konsumen.

"Barang dari China unggul karena lebih banyak stoknya," tambahnya.

Belakangan ini China dengan cepat menjadi penyuplai besar Indonesia dengan sebagian besar barang yang diimpor dari China adalah barang modal dan konsumsi, seperti telepon seluler, laptop, bahkan buah-buahan.

Di Pasar Tanah Abang barang-barang produk China sulit lagi dibendung. Bayangkan, batik saja ada "made in China". Dan ini berseliweran di hampir semua toko di pasar terbesar Asia Tenggara itu.

"Saya banyak jual batik cetak asal China, soalnya banyak yang cari untuk dijual lagi karena harganya murah." kata Sofyan (40), yang tokonya berada di lantai dua pasar Tanah Abang.

Dia menyebut motif batik China bagus-bagus. Tapi buatan Indonesia juga sebenarnya tak kalah menawan.

"Sayangnya konsumen tak melihat produk itu buatan mana. Yang penting harganya murah dan modelnya bagus," kata Sofyan.

Sofyan nyaris tak peduli ketika ditanyai soal KTT ASEAN yang diantaranya membahas pula implementasi perdagangan bebas.

"Saya nggak ngerti apa-apa soal perdagangan bebas. Yang saya tahu barang China itu murah dan banyak stoknya," ujarnya.

Sikap serupa ditunjukkan Julaeha (37), pedagang buah-buahan di Tanah Abang. Katanya, buah-buahan China seperti jeruk, apel dan anggur, selalu menjadi incaran konsumen, karena harganya memang murah.

"Buah lokal stoknya nggak tentu, tergantung musim," katanya lagi.

Dominasi produk China di Indonesia juga merambah ke produk mainan anak dan alat tulis kantor. Produk mainan China juga unggul dalam soal model.

Burhan Affandi (35), pedagang main anak dan alat tulis kantor di pasar Asemka, Jakarta, mengungkapkan, karena modelnya beragam, maka konsumen menjadi tak berhenti memburu produk China.

"Jika barang kita datang hanya satu model, maka barang China sudah sepuluh model, sudah begitu jauh lebih murah lagi," timpal Dedy Irawan (38).

Dedy mengaku diuntungkan oleh perdagangan bebas. Tapi dia bersimpati kepada produsen lokal yang terkena imbas CAFTA.

Dia menilai pakta dagang bebas itu ditinjau ulang demi menghidupkan lagi industri domestik.

Dedy berharap besar Indonesia dapat memanfaatkan posisi Ketua ASEAN untuk mempertimbangkan lagi perdagagan bebas dengan China.

Harapan sama diutarakan Desi Fitriani yang berharap pemerintah juga memberi insentif usaha untuk produsen kecil sepertinya agar bisa bersaing dengan produk impor.

Sementara Dedi Suprayo mengusulkan kepada pemerintah agar sisi kreativitas dan kemampuan produksi skala besar ditingkatkan agar industri Indonesia bisa bersaing di pasar bebas.(*)


Oleh Yudha Pratama
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011