Jakarta (ANTARA News) - Pada 4-8 Mei ini, ketika kota ini menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Jakarta mencatat satu lagi sejarah baru.


Di ibukota Indonesia inilah, untuk pertama kalinya Myanmar mengenakan "baju" baru, yaitu sebuah negara demokratis menyusul keberhasilannya menyelesaikan tahapan pertama sebelum sebuah negara disebut demokrasi, yaitu pemilihan umum.


Sekalipun banyak pihak yang meragukan dan bahkan mengecam proses pemilu di negeri yang telah puluhan tahun dicengkeram junta militer tersebut, ada satu fakta tak terhindarkan bahwa Myanmar telah menggelar sebuah pemilihan umum dan memilih presiden pertamanya pada penghujung 2010.


Menjelang pemilu pertama sejak kemenangan telak partai ikon demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, Liga Nasional Demokrasi, pada 1990, sejumlah petinggi junta melepas pos-pos militernya untuk dapat turut serta di dalamnya.


Hasilnya memang tak jauh berbeda dari prediksi dunia. Perdana Menteri Myanmar U Thein Sein yang mewakili Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) terpilih menjadi presiden pertama Myanmar.


Secara fisik tokoh tertinggi Myanmar yang hadir mungkin memang tetap U Thein Sein yang disebut-sebut orang penting keempat di negeri itu.


Namun mulai KTT ke-18 ASEAN di Jakarta sekarang, hingga setidaknya lima tahun ke depan, mantan petinggi militer itu datang sambil menyandang predikat baru, seorang sipil berpangkat presiden.


Dalam hajatan tahunan ASEAN itu nanti, di hadapan timpalannya di ASEAN, U Thein Sein akan menjelaskan perkembangan proses demokrasi di negaranya, mengingat sejak 2003 isu demokratisasi Myanmar selalu menjadi agenda ASEAN.


Bukan tak mungkin negara itu memberikan sebuah kejutan sebagaimana pengumuman pembebasan Aung San Suu Kyi yang disampaikan Menteri Luar Negeri Myanmar Nyan Win menjelang KTT ke-17 ASEAN di Hanoi.


Ingin seperti Indonesia


Bertahun-tahun sejak 1962 berada di bawah pengaruh militer, tentu tak mudah bagi Myanmar untuk benar-benar menyelenggarakan proses pemilihan umum ideal di mata internasional.


peralihan drastis kekuasaan dari militer ke sipil murni tentu sulit terwujud seketika di kala demokrasi masih berupa barang baru untuk sebagian besar rakyat Myanmar.


Bukan tidak mungkin, seperti dugaan para pengamat, pemilu yang baru lalu itu hanya alat para tokoh militer Myanmar menyembunyikan hasrat berkuasa mereka dengan memakai kedok kepemimpinan sipil demi menghindari tekanan internasional sebagaimana kritik keras Menteri Luar Negeri Filipina Alberto Romulo di Hanoi tahun lalu.


Romulo menyebut pemilihan umum Myanmar sebuah "sandiwara" belaka, merujuk pada tidak dilibatkannya Aung San Suu Kyi dan partainya.


Tidak peduli dengan kritik yang terus bermunculan, Pemerintah Myanmar jalan terus dengan peta jalan demokrasinya.

'

Baru-baru ini tokoh kuat Myanmar Jenderal Senior Than Shwe yang telah memerintah selama hampir dua dekade menyatakan pensiun sebagai kepala militer dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil.


Tak lama setelah upacara pelantikan, Presiden Myanmar menunjukkan keseriusannya dalam menciptakan Myanmar yang baru dengan mendesak pemerintahnya melaksanakan tugas-tugas pembangunan bangsa guna mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga dengan memperhatikan sumber daya manusia dan sumber daya alam.


Ia menyerukan rakyatnya berjuang demi pembangunan sehingga tidak tertinggal dari bangsa lain.


Sementara itu, Aung San Suu Kyi mengatakan rakyat Myanmar ingin mewujudkan demokrasi ala Indonesia. Ia menilai Indonesia telah menapaki masa transisi mengagumkan dari kekuasaan otoriter ke pemerintahan demokratis.


"Kami iri. Kami ingin menjadi seperti Anda (Indonesia). Kami ingin mencapai apa yang Anda telah berhasil capai," kata Suu Kyi dalam satu pesan video yang ditayangkan pada Konfenrensi Masyarakat Sipil ASEAN (ACSC)/Forum Rakyat ASEAN (APF), Selasa ini.


Bersanggul berhias bunga dan mengenakan baju berwana kuning, dia berharap Myanmar mampu mencapai lebih dari yang sejauh ini telah dicapai Indonesia.


Di awal pesan videonya, Suu Kyi menyinggung pendapat banyak orang bahwa nilai-nilai Asia berbeda daru nilai-nilai Barat. Pandangan ini dijadikan alasan untuk melawan perjuangan bagi terwujudnya demokrasi, kata Suu Kyi.


Namun demikian, rakyat Myanmar telah memulai perjuangan demokrasinya pada 1988 dengan mengadopsi sedikit konsep tentang demokrasi Barat.


Maksud perjuagan itu adalah mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan nasib mereka sendiri di tanah mereka tanpa rasa takut, dan menginginkan pemerintah dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat.


"Apa yang kita coba di Myanmar adalah demi mewujudkan hidup yang lebih baik, dan kami percaya bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui demokrasi," katanya.


Ketua ASEAN


Pengakuan negara-negara tentangga tentang proses demokratisasi Myanmar tampaknya penting bagi pemerintah negeri ini. Untuk itulah Myanmar merasa perlu membuktikan diri lagi keseriusannya dalam mengubah citra negaranya.


Baru-baru ini beredar kabar, Myanmar meminta gilirannya menjadi ketua ASEAN pada 2005 ditukar pada 2014. Pada 2005, Myanmar seharusnya menjadi ketua ASEAN sesuai urutan abjad, namun karena Myanmar dinilai belum cukup siap maka Malaysia yang menggantikan negara itu.


Sesuai urutan, Myanmar seharusnya menjadi ketua ASEAN pada 2015, sementara Laos pada 2014. Tetapi pemerintah Myanmar dikabarkan tengah bernegosiasi dengan pemerintah Laos untuk bertukar giliran sebagaimana Indonesia dan Brunei pada 2011 dan 2013.


Keputusan Myanmar untuk menjadi tuan rumah dan Ketua ASEAN pada 2014 boleh jadi didorong oleh keinginan untuk membuktikan pada negara-negara sekawasan bahwa kabinet hasil pemilihan umum pertama sejak 1990 tersebut telah berhasil membawa Myanmar ke titik baru.


Namun, Kaukus antar-Parlemen ASEAN untuk Myanmar (AIPMC) menyerukan kepada para pemimpin ASEAN untuk menolak permohonan Myanmar itu.


Senin lalu, Presiden AIPMC Eva Kusuma Sundari mengatakan bahwa pemilu Myanmar pada Nopember 2010 bukanlah langkah menuju perdamaian dan demokrasi, karena parlemen hasil pemilu tersebut tunduk kepada militer.


"Informasi dari aktivis prodemokrasi Myanmar menyebutkan, militer di Myanmar terus mengendalikan kekuasaan ekstraparlementer secara signifikan dan punya akses langsung pada dana khusus militer," kata Eva.


AIPMC menilai pemerintah Myanmar masih otoriter dan banyak menahan tokoh masyarakat yang memiliki sikap politik berbeda.


Seruan sama disampaikan aktivis prodemokrasi Myanmar Thwin Linn Aung yang meminta pemerintah Myanmar segera menghentikan serangan terhadap etnis tertentu dan memulai membangun dialog inklusif demi memastikan kelangsungan transisi menuju demokrasi dan penegakan HAM.


Suu Kyi sendiri menyatakan Myanmar adalah bagian dari organisasi regional itu dan ingin bekerja sama lebih erat dengan rakyat di sembilan negara anggota ASEAN lainnya.


"ASEAN sangat penting bagi masa depan kita. Kami berharap kami juga sangat penting bagi bangsa-bangsa ASEAN," katanya.


Ia berharap ASEAN tumbuh lebih kuat di masa mendatang dan dunia memandang kagum pada ASEAN.


Ketika ASEAN menggandeng Myanmar untuk menjadi anggotanya pada 23 Juli 1997, demokratisasi di negara itu memang menjadi salah satu target kawasan. Dan sejak 14 tahun lalu, ASEAN akan setia mengawal Myanmar mencapai cita-citanya.(*)


G003*H017*R024/H-KWR

Oleh GNC Aryani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011