"Selama empat tahun terakhir ini, pekerjaan yang dilakukan BPOM tidak efektif karena tumpang tindih. Selain melakukan pengawasan badan itu juga memberikan ijin registrasi industri dan menyusun regulasi," kata Marius.Jakarta (ANTARA News)- Sejumlah lembaga Swadaya masyarakat (LSM) pemerhati masalah kesehatan mendesak pemerintah supaya segera mengembalikan posisi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di bawah koordinasi Departemen Kesehatan. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta di Jakarta, Rabu, mengatakan bahwa setelah BPOM berubah menjadi lembaga pemerintah non departemen (LPND), lembaga itu tidak lagi melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Senada dengan Marius, perwakilan dari sejumlah LSM, seperti Transparancy Internasional Indonesia (TII), Pirac dan Lembaga Advokasi Bantuan Hukum Konsumen Indonesia juga mengemukakan hal yang sama. BPOM yang menjadi LPND berdasarkan keputusan presiden No.103/2001 sebagaimana diubah menjadi Keppres No.46/2002 kata Marius cenderung mengabaikan tugas dan fungsi utamanya di bidang pengawasan obat dan makanan sehingga merugikan masyarakat. Menurut Marius, hal itu terjadi karena BPOM lebih banyak menghabiskan energi untuk membuat regulasi baru di bidang obat dan makanan yang seharusnya menjadi wewenang Departemen Kesehatan. "Selama empat tahun terakhir ini, pekerjaan yang dilakukan BPOM tidak efektif karena tumpang tindih. Selain melakukan pengawasan badan itu juga memberikan ijin registrasi industri dan menyusun regulasi," katanya. Terkait dengan isu formalin yang merebak belakangan ini dia mempertanyakan alasan BPOM baru mempublikasikan temuannya saat ini, padahal menurut penelitian dari BPOM sendiri kasus penggunaan formalin pada bahan makanan sudah terjadi sejak 2003. "Jangan-jangan ini adalah skenario BPOM untuk menggolkan RUU tentang Pengawasan Sediaan Farmasi dan Makanan yang saat ini sedang dibahas di DPR," katanya. Selain itu, BPOM juga cenderung menyalahi fungsi dan kewenangannya dengan menjadi regulator atau pembuat peraturan perundang-undangan yang seharusnya tidak menjadi wewenangnya. Beberapa produk perundangan yang dibuat oleh BPOM kata Marius adalah UU Pembuatan Surat Persetujuan Impor (SPI) Narkotika dan Psikotropika serta prekusornya (bahan baku) padahal berdasarkan UU No.5/1997 tentang Psikotropika dan UU No.22/1997 tentang Narkotika hal itu merupakan wewenang Menteri Kesehatan. Kepala BPOM juga membuat Surat Keputusan No.HK0005514547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam produk pangan padahal Depkes sudah mempunyai peraturan tentang itu yang tertuang PerMenkes No.208/Menkes/Per/IV/1985 tentang Pemanis Buatan dan PerMenkes No.722/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Menteri Kesehatan menyambut baik usulan dari sejumlah LSM itu. Dia menegaskan bahwa sebagai badan yang mengurusi tentang obat dan makanan yang notabene berada di bawah wewenang Depkes maka BPOM harus tetap berada di bawah koordinasi Depkes. "Kalau bisa BPOM dikembalikan jadi Direktorat Jenderal," katanya. Lebih lanjut dia menjelaskan akan melaporkan masalah itu kepada Presiden sebagai pihak yang berwenang membuat keputusan tentang posisi BPOM.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006