Jakarta (ANTARA) - Pada Minggu ini, 5 Desember 2021, komunitas ilmu tanah dunia tengah merayakan Hari Tanah Dunia (World Soil Day) 2021.

Peringatan ini menjadi sangat penting karena Indonesia saat ini sedang menghadapi beragam bahaya (hazard) yang dapat menyebabkan bencana (disaster) bagi umat manusia.

Banyak sekali penyebab bahaya tersebut berkaitan erat dengan kajian disiplin ilmu tanah (soil science).

Banjir di Sintang, Kalimantan Barat; Batu, Jawa Timur; dan Garut, Jawa Barat, baru-baru ini menjadi contoh bencana yang berkaitan erat dengan kajian disiplin ilmu tanah seperti hidrologi dan topografi.

Demikian pula bencana yang terus berulang seperti tanah longsor, kekeringan, hingga kebakaran gambut merupakan kajian para ilmuwan dan praktisi ilmu tanah di Tanah Air.

Kita tidak dapat mencegah bencana alam, tetapi kita memiliki kekuatan untuk bersiap menghadapi dan berpotensi mengurangi dampaknya melalui perencanaan yang matang.

Tentu kita harus menyadari tidak ada satu disiplin ilmu dan sektor spesifik yang mampu menghadapi bencana alam sendirian.

Langkah perencanaan untuk mitigasi bencana akan melibatkan infrastruktur negara, relawan darurat, warga negara, dan semua organisasi masyarakat.

Namun, banyak yang belum menyadari bahwa disiplin ilmu seperti ilmu tanah, pertanian, peternakan, dan kehutanan dapat berperan penting untuk memberi manfaat mitigasi bencana.

Manusia memang tidak mampu membuat hujan, manusia juga tidak dapat mencegah badai. Tetapi para pengelola lahan -- yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu tersebut -- dapat mengelola lahan untuk meningkatkan kemampuan tanah menyerap, menyusup, lalu mengalirkan air hujan ke dalam tanah.

Upaya meningkatkan jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah di seluruh bentang lahan pada akhirnya mengurangi erosi tanah dan potensi banjir.

Bentang lahan yang luas dengan tanah yang memiliki banyak pori-pori memberi jalan bagi mengalirnya air ke dalam tanah. Air yang masuk ke dalam tanah mengurangi aliran permukaan berlebihan penyebab banjir.

Tanah yang menahan air lebih banyak juga bermanfaat bagi tanaman di musim kemarau.

Dengan membangun tanah yang lebih sehat, pengelola lahan di seluruh negeri dapat meningkatkan keselamatan manusia dan melindungi infrastruktur penting bagi semua warga negara ketika peristiwa bencana terjadi.

Meningkatkan kesehatan tanah bangsa Indonesia merupakan salah satu langkah yang dapat diambil untuk mempersiapkan dan pada akhirnya mengurangi dampak bencana.

Secara sederhana kesehatan tanah adalah kapasitas tanah untuk menopang ekosistem penting tanaman, hewan, dan manusia yang hidup di atasnya.

Prinsip mengelola kesehatan tanah untuk satu hektar lahan pertanian, 1.000 hektare lahan pertanian, hingga mengelola halaman rumah di desa, dan area kota sebagian besar tetap tidak berubah.

Tanah yang sehat umumnya tidak terganggu dengan kehidupan yang melimpah dan beragam. Tidak ada pemadatan dan tingkat bahan organik yang relatif tinggi dan agregat yang stabil.

Terdapat empat prinsip utama untuk membangun tanah sehat. Pertama, meminimalkan gangguan tanah.

Kedua, memaksimalkan tutupan tanah. Ketiga, memaksimalkan keanekaragaman hayati. Terakhir, memaksimalkan keberadaan akar yang hidup.

Pada sektor pertanian umumnya kesehatan tanah dibangun dengan mengadopsi praktik konservasi seperti mengolah tanah secara minimal, rotasi tanaman, dan pemberian tanaman penutup tanah.

Namun, lagi-lagi petani bukan satu-satunya yang mampu membangun tanah yang sehat. Prinsip pengelolaan kesehatan tanah dapat diterapkan di hampir semua lanskap yang dikelola manusia, bahkan di halaman rumah belakang yang sempit.

Dengan kata lain setiap pemilik rumah dan keluarga yang tinggal di dalamnya adalah pengelola lahan di sekitar rumah kita sendiri.

Apabila setiap keluarga dapat mempertahankan keragaman organisme –termasuk tanaman yang menyediakan akar hidup sepanjang tahun— serta dapat menahan diri untuk tidak mengganggu dan memadatkan tanah di sekitar rumah, maka pada akhirnya setiap keluarga dapat meningkatkan kemampuan tanah di sekitar rumahnya untuk menyerap air.

Saat ini hampir setiap lahan di perkotaan dan pinggiran perkotaan merupakan lahan milik pribadi. Lahan tersebut dapat berupa lahan perkampungan maupun perumahan modern.

Tentu saat ini pengelolaan lahan oleh pemilik rumah pribadi dapat berkontribusi lebih banyak untuk mitigasi bencana daripada sebelumnya.

Pada kasus tertentu dibutuhkan rekayasa keteknikan untuk mempercepat proses penyerapan air hujan ke dalam tanah. Pada rumah-rumah di wilayah hulu dapat menerapkan bio pori di halaman rumahnya.

Demikian pula pada perumahan-perumahan yang super padat dapat membangun kolam-kolam kecil secara tunggal maupun komunal untuk memanen air hujan.

Kolam tunggal dapat dibangun di halaman rumah, sementara kolam komunal dapat dibangun di area perumahan yang lokasinya lebih rendah.

Pemilik rumah juga dapat memilih paving block atau rumput gajah ketimbang keramik atau beton untuk menghindari beceknya halaman rumah. Dengan cara itu air hujan yang jatuh masih dapat menyerap ke dalam tanah.

Demikian pula perusahaan developer perumahan dapat memilih paving block sebagai bahan untuk membangun jalan raya ketimbang aspal.

Keputusan pengelolaan setiap pemilik rumah pribadi dan setiap komunitas perumahan akan berkontribusi pada dampak peristiwa hujan.

Apakah air hujan yang jatuh ke atap rumahnya dapat mengisi ulang air tanah? atau malah sebaliknya berkontribusi pada banjir berikutnya? Selamat hari tanah dunia.

Baca juga: Peringati Hari Tanah Dunia, Mentan rilis tiga produk Balitbangtan

Baca juga: FAO: sepertiga lapisan tanah dunia sudah rusak

Baca juga: Pemerintah alokasikan tanah tak bertuan untuk masyarakat


*) Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah peneliti di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, Mahasiswa S-3 di Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, IPB University

Copyright © ANTARA 2021