Banda Aceh (ANTARA News) - Di era globalisasi sekarang ini, masyarakat Aceh, khususnya para nelayan masih bisa mempertahankan adat istidat nenek moyang pada zaman dahulu, yakni "Khanduri Laot" (kenduri laut).
Khanduri Laot tersebut hampir setiap tahun dilaksanakan oleh para nelayan di masing-masing daerah dengan waktu yang berbebda-beda.
Panglima Laot Lamteungoh, Peukanbada, Kabupaten Aceh Besar, Baharuddin mengatakan, Khanduri Laot merupakan budaya yang harus dilestarikan dengan baik karena ini salah satu budaya yang masih tinggal di Aceh.
Khanduri Laot merupakan bentuk rasa syukur nelayan kepada Allah SWT yang telah memberikan rezeki berupa hasil tangkapan ikan.
Proses pelaksanaan Khanduri Laot dilakukan tidak menentu, karena tergantung banyaknya kemudahan yang didapatkan nelayan. Untuk waktunya ini bisa dilaksanakan tiga bulan sekali maupun setahun sekali, ujarnya.
Biasanya kalau nelayan sudah makmur dan bersepakat, mereka langsung melakukan kenduri, katanya.
Terkait dengan Khanduri Laot di masa lalu membuang kepala kerbau ke laut, Baharuddin menjelaskan dulu memang setiap ada pelaksanaan kenduri laut, para nelayan membuang kepala kerbau dan tulang-tulangnya yang dibungkus dalam kain putih ke dalam laut.
Namun, hal itu kini tidak dilakukan lagi karena menurut kesepakatan tokoh ulama dan adat itu merupakan perbuatan syirik, katanya.
Alasan kenapa kerbau harus menjadi budaya dalam khanduri laot, Baharuddin menuturkan karena binatang tersebut "meukubang" (berkubang?red ) di dalam air dan warna hitam dipilih karena itu sebagai syarat dalam kenduri.
Dalam khanduri laot tersebut, sambungnya, minimal harus ada satu kerbau yang akan dipotong, karena hal tersebut sudah dilakukan oleh orang sebelumnya.
"Hal seperti ini telah dilakukan oleh orang zaman dulu, kita hanya mengikutinya saja," ujarnya. Baharuddin mengingatkan agar budaya dan adat Aceh jangan musnah di bumi ini.
Mengikat silaturahim
Ia menambahkan, khanduri laot biasanya dilakukan oleh setiap Lhok (setingkat Kecamatan - red) yang bertujuan mengikat silaturahami dan membina kekompakan antar pelaut dan masyarakat pesisir.
Budaya khanduri laot telah ada sejak zaman nenek moyang, namun ia tidak mengetahui kepastian adanya budaya tersebut.
Selama khanduri laot ini berlansung, para nelayan dilarang melaut selama tiga hari, tambahnya.
Sementara itu, T Muttaqin Mansur, Sekretaris Pusat Studi Hukum Adat Laut Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh menuturkan, budaya khanduri laot telah dilakukan secara turun-temurun oleh nelayan Aceh, namun bedanya sekarang dalam pelaksanaanya para nelayan tidak lagi melemparkan kepala kerbau ke laut.
Budaya khanduri laot merupakan salah satu budaya penting dan perlu untuk dilestarikan karena kenduri ini hanya ada satu-satunya di Aceh.
Dia menilai, budaya khanduri laot memiliki banyak mamfaatnya dibandingkan mudharatnya.
Budaya khanduri laot, kata dia sesudah dan sebelum tsunami terdapat perbedaan akibat transformasi budaya.
Sebelumnya, setiap ada khanduri laot kepala kerbau dilemparkan ke laut, namun sekarang sudah banyak tidak melakukan lagi, tapi yang terpenting kenduri ini sebagai bagian bersyukur kepada sang pencipta yang telah banyak memberikan rizekinya.
"Dengan adanya pengetahuan, ilmu dan informasi, kini hal-hal seperti itu tidak banyak terjadi. Sekarang khanduri laot sudah ada asimilasi budaya yang lebih modern," tambahnya.
Ia berharap yang terpenting budaya khanduri laot ini harus dilestarikan karena ini merupakan sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh nelayan Aceh.
(H011/Z002)
Oleh Heru Dwi S
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011