Timika (ANTARA News) - Anggota Komisi B DPRD Mimika, Wilhelmus Pigai mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas kasus deposito dana Otonomi Khusus (Otsus) di sejumlah bank.

"Kita minta KPK mengusut deposito dana Otsus senilai Rp1,85 triliun yang ditangani Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Pemprov Papua," kata Wilhelmus di Timika, Jumat.

Ia menilai kebijakan mendepositokan dana Otsus Papua telah bertentangan dengan semangat Otsus karena masyarakat di 29 kabupaten/kota setempat masih sangat membutuhkan perhatian serius dari pemerintah terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan perbaikan infrastruktur.

"Dana Otsus itu kan untuk kepentingan rakyat Papua sebagai bentuk win-win solution dari Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan masalah Papua," ucapnya.

Tapi mengapa dana itu harus didepositokan. Ada banyak masalah di Papua yang perlu diselesaikan dan diperhatikan oleh pemerintah, ujar Wilhelmus yang sudah tiga periode duduk sebagai wakil rakyat di DPRD Mimika itu.

Dia menyampaikan terima kasih kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah secara terbuka mengungkap masalah tersebut secara transparan ke publik. Tanpa adanya publikasi atas temuan BPK, menurut Wilhelmus, kasus ini akan mengendap dan tidak diketahui oleh rakyat Papua.

"Untung ada pemeriksaan oleh BPK, kalau tidak masalah ini tidak pernah diketahui oleh rakyat Papua," ujar Wilhelmus.

Menurut dia, selama 10 tahun kebijakan Otsus di Provinsi Papua, Pemprov setempat tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada publik sudah berapa banyak dana Otsus yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat ke Papua dan sejauhmana hasil-hasil yang sudah dicapai melalui pemanfaatan dana itu.

Lantaran tidak adanya keterbukaan dari Pemprov Papua terhadap penggunaan dana Otsus tersebut, menurut Wilhelmus, sampai saat ini masih banyak suara rakyat Papua yang menilai kebijakan Otsus gagal.

Sebelumnya, Anggota Komisi C DPRP Yan Mandenas juga mendesak KPK menindaklanjuti temuan BPK soal deposito dana Otsus tersebut.

"Ini tidak bisa lagi dibiarkan, tetapi harus diusut tuntas. Kita harapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan menindaklanjuti masalah ini," kata Mandenas.

Ia mengatakan, alasan Kepala BPKAD Papua, Achmad Hatari yang mengatakan deposito dana itu sesuai aturan dalam Permendagri 13/2006 adalah tidak benar.

"Memang dalam pasal 60 Permendagri 13/2006 memberi kesempatan pemerintah daerah untuk menginvestasikan dana daerah. Tetapi dalam aturan yang sama pasal 72 juga disebutkan dana investasi itu juga harus dimasukan atau dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan. Apalagi, investasi pemerintah daerah diatas Rp5 miliar harus berdasarkan Perda, kalau dibawah nominal itu bisa menggunakan Peraturan Gubernur," jelas Mandenas.

Dia mengatakan, DPRP khususnya komisi C tidak pernah menerima atau mengetahui Perda tentang investasi seperti itu.

"Dana yang didepositokan sebesar ini saja, kami di dewan baru tahu," tutur Mandenas.

Berdasarkan temuan BPK yang telah dirilis, ada Rp1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, didepositokan. Perinciannya, Rp1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20 November 2008, selanjutnya Rp250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009 dan Rp350 miliar pada Bank Papua dengan No seri A09610 per 4 Januari 2010.

Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Papua, Achmad Hatari berdalih kebijakan pendepositoan dana senilai Rp1,85 triliun di Bank Mandiri dan Bank Papua karena dana menganggur di Bank Papua atau yang disebut idle money sangat tinggi. (E015/M019/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011