Medan (ANTARA News) - Kasus layanan atau produk perbankan paling banyak dilaporkan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan selama tahun 2010 sebanyak 197 kasus atau 63 persen dari seluruh laporan masuk.
"Sedangkan kasus terbesar lainnya menyangkut perusahaan pembiayaan seperti kredit kenderaan yang jumlahnya mencapai 24 persen lebih," kata Koordinator Komunikasi dan Edukasi BPKN, Srie Agustina, di Medan, Kamis.
BPKN terus berupaya mencerdaskan konsumen/masyarakat agar kasuss-kasus yang merugikan masyarakat itu semakin bisa ditekan.
Dikatakan, masih banyaknya kasus yang merugikan konsumen mulai dari penjualan berbagai barang hingga layanan dari jasa yang dilakukan berbagai perusahaan usai acara Safari Edukasi Konsumen Indonesia yang digelar BPKN dengan peserta dari komunitas ibu dharma wanita, pengusaha UKM dan berbagai kalangan lainnya.
Medan menjadi kota pertama dijadikannya Safari Edukasi Konsumen Indonesia dan akan dilanjutkan ke kota lain seperti Menado.
Dia menjelaskan, 197 kasus yang diterima BPKN itu merupakan laporan lintas sektoral baik dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau lembaga perlindungan konsumen lainnya yang dewasa ini jumlahnya semakin banyak masing-masing 54 dan 228 kantor.
"BPKN tidak menerima pengaduan dari perorangan/pribadi karena bisa ditangani lembaga yang ada di daerah," katanya.
Pembentukan BPKN itu sendiri ,kata dia, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melindungi konsumen, meningkatkan persaingan sehat serta meningkatkan kualitas produk atau layanan perusahaan yang dijalankan atau diperdagangkan di dalam negeri.
Tetapi, kata dia, pemerintah menyadari keterbatasan untuk mengawasi dan mengatasi berbagai masalah dalam soal perdagangan dan layanan dari perusahaan kepada konsumen, sehingga merangkul masyarakat untuk menjadi mitra.
"Karena itu BPKN terus berupaya mencerdaskan konsumen sehingga bisa menjadi "polisi" bagi diri sendiri, untuk kepentingan pemerintah dan termasuk melindungi perusahan dan produk yang dihasilkan lokal," katanya.
Disebutkan, besarnya penduduk Indonesia menjadikan pasar nasional selalu menjadi incaran untuk tempat penjualan berbagai produk dan jasa layanan yang dihasilkan perusahaan nasional dan asing, sehingga kalau konsumen tidak dicerdaskan, pemerintah diyakini tetap kewalahan menangani kasus-kasus yang merugikan.
"Kalau pemerintah masih dinyatakan lamban dalam melindungi konsumen , saya fikir itu kurang tepat, karena negara asing seperti Australia juga nyatanya membutuhkan waktu sekitar 30 tahun dan Indonesia masih dalam hitungan belasan tahun dalam upaya itu," katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Tutum Rahanta, mengatakan, masih banyaknya produk tidak standar yang beredar di dalam negeri meski pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk menekan kasus itu, merupakan salah satu dari resiko luasnya negara Indonesia dengan banyaknya jugadaerah atau pelabuhan yang berbatasan dengan negara asing.
Pengetatan pengawasan di pelabuhan besar seperti Belawan, Sumut, tidak membuat pelaku "nakal" kehilangan akal untuk memasukkan produk tidak standar itu dari pelabuhan lain yang kurang diawasi atau luput dari perhatian.
Barang tidak memenuhi standar itu semakin memungkinkan terus ada, karena juga dipengaruhi adanya persaingan ketat bahkan tidak sehat di antara pengusaha khususnya yang memproduksi atau memasarkan produk asing dan lokal ditengah semakin besarnya tuntutan konsumen atas produk berharga murah.
"Kondisi ini yang harus dicermati pemerintah," kata Tutum yang juga duduk sebagai anggota BPKN.
Dia mengaku sependapat dengan Srie Agustina, bahwa kasuss-kasus yang merugikan konsumen, pengusaha lokal dan pemerintah itu bisa sangat terbantu dengan semakin cerdasnya masyarakat atau konsumen dalam menentukan pilihan produk yang dibelinya.(*)
(T.E016/M019)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011