Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menargetkan tak ada lagi impor bahan bakar minyak (BBM) pada 2027, untuk itu diterapkan kebijakan mandatori B30 tujuannya Indonesia dapat menghemat devisa serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani melalui mandatori Bahan Bakar Nabati (BBN).

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan strategi pemerintah untuk tidak lagi melakukan impor bahan bakar minyak (BBM) pada 2027 antara lain menggunakan kendaraan listrik, dan meningkatkan penggunaan biodiesel dengan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dalam negeri.

Dalam grand strategi pengurangan impor BBM, penggunaan mobil listrik ditargetkan mencapai 2 juta unit dan 13 juta unit motor pada 2030, sementara biodiesel 30 persen (B30) juga dipertahankan dan juga mengoptimalkan produksi BBN.

Implementasi biodiesel sudah sukses berjalan selama 15 tahun, dan menjadikan Indonesia sebagai pelopor dalam penerapan pencampuran (blending rate) BBN berupa fatty acid methyl esters (FAME) pada diesel berbasis minyak fosil hingga mencapai 30 persen atau B30.

Namun demikian, tak hanya akan berhenti pada B30, pemerintah juga berencana akan meningkatkannya menjadi B40 atau 40 persen campuran FAME pada diesel berbasis fosil.

"Saat ini Kementerian ESDM juga sedang menyusun pengembangan B40 dengan menerapkan bahan bakar hijau," katanya dalam Webinar "Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel: Indonesia Menuju B40".

Hemat Devisa

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) mengungkapkan, penerapan program mandatori biodiesel saat ini berdampak pada penghematan devisa negara. Penghematan devisa akibat tidak perlu impor solar sebesar Rp176 triliun.

Menurut Direktur Penyaluran Dana BPDKS, Edi Wibowo jumlah itu didapat dari penyaluran biodiesel sejak 2015 hingga 2021 dimana penggunaan biodiesel dari sawit sejak 2015 hingga saat ini tercatat mencapai 31,4 juta kiloliter (Kl).

Meskipun demikian sejumlah tantangan dalam melaksanakan mandatori B30 antara lain mengimplementasikan B30 di tengah meningkatnya harga CPO. Lalu bagaimana mandatori B30 akan ditingkatkan di tahun mendatang.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyebut lima faktor penting yang menjadikan mandatori biodiesel perlu dilanjutkan di Indonesia. Pertama, biofuel adalah salah satu jalur hilirisasi sawit Indonesia. Biodiesel bagian dari biofuel adalah politik hilirisasi di Indonesia. Biofuel yang telah dihasilkan sekarang yaitu Biodiesel, Biohidrokarbon, diesel sawit, bensin sawit, avtur sawit, bioetanol, biogas, biodiesel alga dan lainnya.

Kedua, ketahanan energi, untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil (impor), diversifikasi sumber energi EBT dan menghemat fosil untuk generasi selanjutnya.

Ketiga, pengurangan emisi GHG (mitigasi perubahan iklim); menurunkan emisi GHG melalui pengurangan produksi dan konsumsi energi fosil, memenuhi komitmen NDC/Paris Agremeent, “Glasgow Commitment.

Keempat berkaitan manfaat sosial ekonomi. Dan Kelima, mandatori biodiesel bagian dari instrumen stabilisasi pasar CPO dunia (market leader).

Untuk menjawab apakah Indonesia perlu melangkah lebih lanjut menigkatkan bauran dari B30 menjadi B40, Tungkot menegaskan masih dibutuhkan dan perlu ditingkatkan. Mengingat Indonesia masih ketergantungan pada energi fosil dan impor bahan bakar fosil masih tinggi dan cenderung meningkat (substitusi energi fosil ke energi biofuel) serta demi kesehatan lingkungan dan ekonomi nasional.

"Potensi green fuel berbasis sawit domestik cukup besar sebagai subsitusi energi fosil mulai dari Biodiesel (B30), Bensin Nabati, Diesel Nabati dan Avtur Nabati. Selain itu, menjadi target penurunan emisi (gas rumah kaca) pemerintah telah menenepkan penurunan emisi hingga 2030 yaitu 29 persen,” tegasnya.

Ilustrasi - Petani sedang mengangkut sawit dari kebun yang baru dipanen (ANTARA/Suprian)

Persiapan B40
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini terus melakukan persiapan rencana pelaksanaan program biodiesel 40 persen (B40).

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, Kementerian ESDM telah melakukan kajian teknis B40. Pihaknya telah melakukan uji di lab terkait pemanfaatan B40 ini dengan tiga komposisi.

Pertama, B40 dengan menggunakan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dengan spek yang berlaku sekarang. Kedua, komposisi B30 persen FAME ditambah DPME (Distilled Palm Oil Methyl Ester) 10 persen. Ketiga, uji coba dengan B30 persen FAME ditambah HVO (Hydrogenated Vegetable Oil) 10 persen.

Selain itu juga melakukan uji karakteristik dari sisi fisika kimia. Baik itu yang terkait dengan aspek kinerja, lingkungan/emisi, handling/storage dan kebersihan/filter plugging, hasilnya secara umum bahwa semuanya juga bisa berjalan dalam engine.

Dadan mengatakan, pihaknya merekomendasikan/mengusulkan B40 dengan dua opsi. Opsi pertama, adalah B30 FAME ditambah DPME 10 persen sedangkan, opsi kedua B30 FAME ditambah HVO 10 persen.

Pelaksanaan B40 dengan produksi FAME seperti saat ini dinilai juga mencukupi untuk penerapan B40. Namun, apabila nantinya dipilih opsi B30 persen FAME ditambah DPME 10 persen ini masih perlu waktu untuk memastikan produsen bisa melengkapi fasilitasnya untuk melakukan distilasi ulang terkait dengan penurunan kandungan airnya.

Kemudian terkait dengan opsi kedua, juga untuk Pertamina baru akan siap memproduksi HVO dalam jumlah besar di tahun 2024.

Ilustrasi - Perkebunan kelapa sawit di Kalbar. (ANTARA/Dedi)

Namun demikian BPDPKS mengungkap, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam rencana implementasi program mandatori B40 diantaranya, kapasitas produksi DPME (Distilled Palm Oil Methyl Ester) dan HVO (Hydrogenated Vegetable Oil) belum mencukupi untuk perencanaan B40 secara nasional.

Perlu dikaji keekonomian-nya secara lebih komprehensif khususnya analisis yang mendalam terkait kebutuhan tambahan investasi industri HVO, khususnya DPME, yang merupakan advance processing dari FAME (Fatty Acid Methyl Ester).

Terkait hal itu berbagai persiapan tengah dilakukan Kementerian ESDM untuk mendukung program B40 antara lain, menyusun standard nasional (SNI) terkait merevisi SNI spesifikasi biodiesel untuk B40, menyusun SNI untuk greenfuels dan menyusun SNI katalis.

Melakukan kajian teknis dan tekno ekonomi terkait pemanfaatan B40, mempersiapkan kebijakan pendukung, dan mempersiapkan insentif. Dalam jangka pendek akan melakukan road test, baik itu otomotif atau untuk alat-alat yang lain seperti alat mesin pertanian, alat berat, locomotive dan perkapalan.

Selain itu, memastikan kesiapan badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN), propee handling dan storage system. Lalu memastikan kesiapan infrastruktur, mendorong pembangunan bahan bakar hijau melalui program strategis nasional. Serta melakukan sosialisasi secara masif terkait program B40.

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021