Pendapat itu disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya, Donny Maulana kepada pers saat memaparkan hasil kerja organisasi tahun 2008 dan proyeksi kerja 2009 di Surabaya, Minggu.
Menurut ia, tidak layaknya gaji jurnalis tersebut selalu menjadi alasan untuk melanggengkan praktik terima amplop, meskipun kode etik jurnalistik jelas-jelas melarangnya.
"Sejauh ini memang belum ada standarisasi pengupahan bagi jurnalis. Penentuan gaji masih didasarkan pada nilai rata-rata upah jurnalis yang berlaku di pasaran," katanya didampingi Sekretaris AJI Surabaya, Iman Dwianto Nugroho.
Dari hasil survei yang dilakukan AJI terhadap sekitar 30 jurnalis di Surabaya yang berstatus karyawan tetap belum lama ini, gaji jurnalis berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp1,65 juta per bulan.
Angka itu masih jauh dibawah upah layak jurnalis, dimana hasil survei AJI menyebutkan gaji jurnalis di Surabaya minimal sebesar Rp2,7 juta per bulan.
"Penentuan itu didasarkan pada berbagai kebutuhan hidup dan komponen lainnya. Patokan upah itu bagi jurnalis yang baru bergabung di media," tambah Donny.
Ia menambahkan jurnalis tidak bisa disamakan dengan buruh, meski sama-sama bekerja pada perusahaan atau majikan. Karena itu, UMK (Upah Minimun Kabupaten/Kota) yang diberlakukan untuk buruh, tidak bisa diterapkan kepada jurnalis.
Donny Maulana mengakui bahwa sebagian besar media yang terbit dan berkantor pusat di Surabaya, masih memberikan gaji kepada jurnalis dengan besaran jauh dari kelayakan.
"Kami kesulitan mendapatkan alasan, mengapa media memberi gaji rendah kepada jurnalisnya. Mereka (media) sangat tertutup, bahkan data jurnalis yang bekerja saja, tidak bersedia menjelaskan," ujarnya.
Ia juga mengakui kalau penerapan upah minimum jurnalis sesuai survei AJI Surabaya akan sulit dilakukan, karena tidak memiliki kekuatan hukum, seperti halnya UMK yang dituangkan dalam SK Gubernur. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009