"Sejak kasus ini muncul ke permukaan, KPI memang secara resmi belum bersikap. Yang jelas, mengacu kepada UU Penyiaran, akuisisi tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan UU."Jakarta (ANTARA News) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan mengeluarkan opini hukum (legal opinion) terkait akuisisi atau merger PT Indosiar Karya Media Tbk (Indosiar) yang dilakukan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK), selaku induk usaha PT Surya Citra Media Tbk (SCTV).
"Dalam minggu-minggu ini, KPI akan melakukan rapat pleno untuk mengeluarkan legal opinion. Setelah itu, hasil pleno menjadi sikap resmi KPI, dan sikap resmi KPI akan dikirimkan ke pihak-pihak terkait," kata anggota KPI, Mochamad Riyanto, di Jakarta, Rabu.
Atas kasus merger dua stasiun televisi tersebut, sampai saat ini KPI belum mengeluarkan legal opinion terkait akuisisi tersebutnya.
Riyanto menuturkan, berdasarkan kewenangan yang dimiliki, KPI tentunya memiliki pendapat hukum.
"Sejak kasus ini muncul ke permukaan, KPI memang secara resmi belum bersikap. Yang jelas, mengacu kepada UU Penyiaran, akuisisi tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan UU itu. Namun, di sisi lain, secara objektif, penyiaran tidak terfokus pada satu wilayah saja," katanya.
Saat ini, KPI tengah mengkaji secara komprehensif terkait kasus akuisisi Indosiar dan EMTK. KPI hanya dapat memberikan pandangan hukum terkait potensi monopoli lembaga penyiaran oleh perusahaan yang terkait tersebut.
Sebab, meskipun UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran melarang pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, tetapi tidak secara tegas KPI diberikan otoritas untuk melarang hal tersebut.
"Artinya, di sini pandangan kewenangan itu ada di Kementerian Komunikasi dan Informatika. KPI lebih kepada menyampaikan bagaimana pandangan kami. Kalau dalam UU itu disebutkan dengan tegas KPI punya kewenangan, maka KPI akan langsung mengatakan iya dan tidaknya secara langsung," katanya.
Sejak kabar akuisisi Indosiar bergulir pada Februari lalu, pengambilalihan belum terjadi hingga sekarang. Padahal, Maret lalu PT EMTK telah mempublikasikan pengambilalihan Indosiar.
Dalam berbagai kesempatan Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat menegaskan bahwa akuisisi PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk.(EMTK) melanggar UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Akuisisi itu bertentangan dengan UU, maka kami menolak," kata Dadang Rahmat Hidayat dalam diskusi bertajuk "Tolak Monopoli TV Swasta di Satu Tangan Pemodal" di Jakarta Media Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Dadang, sikap tersebut diambil KPI setelah melakukan kajian dan sikap itu telah disampaikan ke pihak-pihak terkait. Namun harus ada putusan pengadilan yang bisa memperkuat keputusan KPI tersebut, karena KPI tidak memiliki kewenangan untuk mencegah atau membatalkan proses akuisisi.
Akuisisi Indosiar oleh PT EMTK, menurut Dadang, berpotensi menimbulkan terjadinya pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran, yang berimplikasi penguasaan opini, yang dilarang UU Penyiaran.
Sementara itu, pakar komunikasi Universitas Indonesia (UI) Effendi Ghazali menilai, rencana akuisisi Indosiar oleh PT EMTK melanggar UU Penyiaran, dan karena itu merger kedua stasiun televisi itu harus dibatalkan.
"Ini jelas-jelas melanggar UU Penyiaran dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 yang mengatur satu holding hanya boleh memiliki satu frekuensi di satu provinsi," kata Ghazali.
Menurut Ghazali, kalau pun dari sudut UU Persaingan Usaha atau UU lainnya tidak ada potensi monopoli, akuisisi ini tetap tidak boleh dilanjutkan karena yang bergabung adalah dua perusahaan penyiaran di bawah satu atap bernama PT EMTK.
"Kalau pun akuisisi ini terjadi, maka PT EMTK nantinya memiliki tiga frekuensi, yakni Indosiar, SCTV, dan O Channel," ujarnya.
Pengajar Ilmu Komunikasi UI itu menjelaskan bahwa dalam kasus akuisisi Indosiar, jika merger keduanya sampai terjadi, maka hal itu akan menjadi legitimasi untuk kasus-kasus sebelumnya, sekaligus membuka jalan untuk merger yang akan terjadi selanjutnya.
"Tetapi, yang pasti, ini melanggar UU Penyiaran dan tidak boleh terjadi," katanya.
(T.J004/S019)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011