Bicara soal cerita, Edwin dan Eka Kurniawan menjejalkan cukup banyak alur cerita yang berkelok-kelok, terutama yang melibatkan Jelita (Ratu Felisha), yang penampilannya penuh teka-teki.
Beralih ke visual, rasanya film ini menjadi obat rindu dan surat cinta para pembuatnya kepada sinema Indonesia di era tersebut. Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid.
Sang sutradara sebelumnya menjelaskan bahwa referensi gambar sangat dipengaruhi oleh imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti "Flora dan Fauna", "Sesame Street", hingga "Si Unyil" yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm.
"Bagi saya, 16 mm adalah representasi realita sehari-hari yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya terhadap periode 80-90an. Tentu saja keinginan menggunakan pita seluloid dalam proses shooting film ini perlu didukung oleh para produser yang gigih dalam merealisasikannya," kata Edwin.
Pita seluloid, selain harganya yang sedikit lebih mahal dibandingkan dengan medium digital, di Indonesia tidak ada lagi laboratorium dan distributor pita film 16mm.
"Segala pengerjaan laboratorium harus dikerjakan di Jepang. Sebuah pilihan yang tidak mudah mengingat segala sesuatunya juga harus dikerjakan dalam masa pandemi," ujarnya menambahkan.
Untuk "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", Edwin melakukan kolaborasi internasional dengan menggandeng Director of Photography Akiko Ashizawa yang berasal dari Jepang.
Ashizawa biasa berkolaboasi bersama sutradara kawakan Kiyoshi Kurosawa, salah satunya untuk film "Tokyo Sonata" (2008).
Edwin juga berkolaborasi dengan editor dari Thailand, Lee Chatametikool. Lee dikenal sebagai kolaborator dari sutradara terkemuka Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Salah satunya pemenang Cannes Film Festival 2010, "Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives" (2010).
Ada juga animasi-animasi dari lukisan truk khas Indonesia yang sesekali menambah keceriaan, sekaligus media untuk menggabungkan komentar masyarakat yang dibungkus dengan humor.
Beralih ke audio, pilihan musik mencakup berbagai gaya dan sering digunakan dengan cara yang sengaja berbenturan dengan aksi di layar, menciptakan "disonansi" yang menarik.
Sementara itu, selain Marthino Lio, Ladya Cheryl, dan Reza Rahardian, film ini juga ikut menampilkan Ratu Felisha, Djenar Ayu, Christine Hakim, Ayu Laksmi, Eduwart Manalu, Kiki Narendra, Yudi Ahmad Tajudin, dan Sal Priadi.
Film ini sebelumnya juga berkeliling ke festival film berbagai negara seperti Toronto, Hamburg, Busan, London, Singapura, dan masih banyak lagi. Lebih dari 30 festival disambangi oleh film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, termasuk pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival baru-baru ini.
"Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas", film pemenang utama Golden Leopard di Locarno Film Festival, tayang mulai 2 Desember di bioskop seluruh Indonesia untuk penonton berusia 18 tahun ke atas.
Baca juga: Tiga film Indonesia masuk seleksi Festival Film Busan 2021
Baca juga: Filmnya menang di Locarno, Edwin puji totalitas tim dan pemain
Baca juga: "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" cetak sejarah di Locarno
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021