Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai perlu undang-undang antiterorisme lebih tajam yang memberikan kewenangan aparat menangkap pihak yang dicurigai sebagai kelompok teroris.

"Kalau menunggu bom meledak dulu baru bisa menangkap, bisa meledak negara ini," kata Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, di kantor PBNU, di Jakarta, Selasa.

Said Aqil yakin sebenarnya aparat keamanan sudah memiliki data mengenai orang atau kelompok yang dicurigai sebagai teroris.

Namun, katanya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa sebelum orang atau kelompok tersebut menjalankan aksinya.

"Tidak bisa melakukan tindakan preventif, harus menunggu ada kejadian peledakan bom dulu baru bisa bertindak," katanya.

Jika keadaan seperti itu terus dibiarkan, katanya, lama-lama negara menjadi korban.

Nahdlatul Ulama, katanya, memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menjaga keutuhan negara.

Berdasarkan alasan itu pula, katanya, pada masa lalu NU mendukung diperangi kelompok DI/TII karena dinilai telah melakukan "bughot" atau pemberontakan.

"Dulu NU menganggap DI/TII `bughot`, maka harus diperangi supaya hukum tegak. Tapi NU tidak mengkafirkan mereka," katanya.

Pada kesempatan itu ia menyatakan setuju anggota intelijen mendapat kewenangan penangkapan sepanjang tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Intelijen boleh menangkap asal tidak melanggar HAM, tidak melakukan penyiksaan. Yang dicurigai ditangkap, kalau tidak terbukti dilepas," katanya.

Ia mengemukakan, kalau hukum bisa ditegakkan tanpa pandang bulu, kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan tidak akan terjadi.

Apalagi, katanya, saat ini sudah ada piranti perundang-undangan yang lain dan kondisinya berbeda dengan Orde Baru.

Ia mengaku bisa memahami penolakan kelompok prodemokrasi terhadap pemberian wewenang penangkapan kepada anggota intelijen.

"Niat teman-teman prodemokrasi baik, tapi ini dimanfaatkan kelompok antidemokrasi yang radikal," katanya. (*)
(T.S024/M029)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011