Didampingi para guru dan wali murid, anak-anak ini menceritakan perlakuan sewenang-sewenang kepala sekolah mereka, Wahyu Ningsih yang biasa dipanggil Bu Yun. Sebagian dari anak-anak itu bahkan meneteskan air mata tidak kuasa menahan kepedihan, saat mereka mendedah pengalaman buruk Bu Yun kepada mereka.
Bila, siswi kelas sekolah itu, mengaku ditarik sampai jatuh oleh kepala sekolah gara-gara terlambat senam pagi. Tak cukup dijambak, bocah berkulit hitam itu juga dilontari kata-kata hinaan oleh Wahyu Ningsih.
"Saya dikatain bibit PSK (pekerja seks komersial)," akunya sambil menangis.
Hal serupa dialami Nikita. Bocah yang duduk di bangku kelas V itu pernah disebut anak pelacur saat menunggu jemputan orang tuanya di ruang tunggu. "Saya juga dikatain anak jalanan," kata Nikita.
Begitu juga dengan Juan, siswa Kelas III sekolah yang sama. Juan bercerita, sekitar tiga minggu lalu dia pernah ditampar kepala sekolahnya itu. Gara-garanya sepele, ia dan beberapa teman bermain sepak bola di taman. Padahal itu adalah jam istirahat.
"Saya ditanya, siapa yang ngajak main," katanya polos.
Beberapa waktu lalu, sebelum anak-anak itu bertandang ke rumah rakyat itu, seorang wali murid dan guru SDN Tandes Lor mendatangi DPRD Surabaya. Mereka melaporkan sikap dans kebijakan kepala sekolah yang dinilai mereka sewenang-wenang.
Salah seorang wali murid, Darsono, mengaku anaknya yang bernama Fena Melinda trauma. Fena tidak mau pergi sekolah sejak tujuh bulan lalu karena hukuman keras yang diberikan sang kepala sekolah.
Masalahnya adalah ketika ada seorang siswa yang disuruh kepala sekolah mengambilkan serok ke tukang kebun, namun perintah itu tidak ditunaikan dengan baik siswa itu.
Di hadapan murid-murid yang lain, Bu Yun mencaci maki Fena habis-habisan. Dia juga menghukum Fena dengan menyuruhnya berdiri di bawah tiang bendera.
Trauma
Hukuman yang diberikan kepala sekolah atas sesuatu yang tidak dilakukan itulah yang kemudian mempengaruhi mental Fena. Karena tergolong anak pendiam, Fena tak berani menceritakan apa yang dialaminya kepada kedua orang tuanya.
Saat pulang sekolah, Fena hanya bisa menangis dan mengurung diri di kamar tanpa bercerita sepatah kata pun. "Saya tahunya setelah diceritakan adiknya yang masih kelas tiga," kata Darsono.
Semenjak peristiwa itu, Fena tidak lagi mau bersekolah, bahkan sekadar keluar rumah untuk jajan saja dia tak mau melakukannya. "Sekarang anaknya menjadi lebih pendiam. Keluar beli jajan saja sekarang tidak pernah, padahal dulu tidak seperti itu," ujarnya.
Selama tujuh bulan anak kelas VI SD itu tidak mau sekolah sehingga terancam tidak bisa mengikuti Ujian Nasional.
Tak hanya murid dan orangtua murid yang mengeluhkan kesewenang-wenangan Wahyu Ningsih. Guru-guru pun mengeluhkannya, sampai-sampai mereka mau menemani murid dan wali murid mengadu ke DPRD.
Nensi, guru Kelas IV sekolah itu, mengaku saat hamil, dia sempat dua kali terlambat masuk. Dan keterlambatan ini kemudian dijadikan alasan oleh Bu Yun untuk memarahi salah satu gurunya itu. Alasannya demi ketertiban.
"Kalau tidak ingat anak-anak, saya tidak masuk. Daripada dimarahi," cetusnya.
Saking seringnya ditegur, tensi darah Nensi melonjak naik, sampai-sampai bayi dalam kandungannya terpaksa harus dikeluarkan ketika usia kandungan masih delapan bulan.
Keluhan tidak jauh beda disampaikan mantan Tata Usaha SDN Tandes Lor Surabaya, Umi Kulsum. Dia bercerita, pertama kali masuk SDN Tandes Lor II, ia hanya digaji Rp50 ribu per bulan.
Kemudian setelah SDN Tandes Lor I dan SDN Tandes Lor digabung, gajinya naik menjadi Rp170 ribu per bulan. Tapi, imbalan sebesar itu tidak seimbang dengan pekerjaan berat yang ditanggungnya sehari-hari.
"Saya harus kerjakan laporan sendirian, seperti laporan Bopda dan laporan lainnya. Saya merangkap administrasi dan keuangan," terangnya.
Karena gajinya jauh di bawah standard, Umi menuntut gaji sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu, yakni Rp950 ribu per bulan. Tapi tuntutan itu ditolak. Kepala sekolah hanya bersedia menggajinya Rp300 ribu per bulan. "Mau berikan Rp300 ribu, tapi yang Rp650 ribu suruh merekayasa," ungkapnya.
Karena faktor itulah Umi kemudian memutuskan mengundurkan diri dan memilih mencari pekerjaan baru. "Maret 2011 saya mengundurkan diri," paparnya.
Pidanakan
Mengetahui pengakuan para murid, wali murid dan guru di SDN Tandes Lor, anggota Komisi D Yayuk Puji Rahayu menyebut tindakan Wahyu Ningsih sudah kelewat batas.
"Tindakan kepala sekolah arogan itu bisa dipidanakan dengan tudingan perbuatan tidak menyenangkan," sambungnya.
Anggota Komisi D yang lain, Masduki Toha menyarankan Wahyu Ningsih dipindahkan dari SDN Tandes Lor. "Kita tunggu pihak Inspektorat dan Dinas Pendidikan menanganinya. Kami minta siswa, wali murid dan para guru tidak perlu takut karena dewan siap melindungi," tegas Masduki.
Ketika dikonfirmasikan soal-sola itu kepada Wahyu Ningsih, perempuan ini malah memberikan penjelaskan berbelit-belit. Ia bahkan sama sekali tidak menanggapi tuduhan telah berlaku arogans. Sebaliknya, dia terus saja berbicara soal program yang berhasil dia jalankan.
Ia mengaku mendapat penghargaan dari Walikota Surabaya saat itu (Bambang Dwi Hartono) karena berhasil mensukseskan penggabungan SDN Tandes Lor I dan II menjadi SDN Tandes Lor. Sekolah yang dulu tidak digemari masyarakat itu berubah menjadi idola, kata Wahyu Ningsih.
Ia lantas membeberkan prestasi sekolahnya selama kepemimpinnya sejak November 2002. Disebutnya bahwa sekolah itu sering mendapat bantuan dari Inggris, Jepang dan negara lainnya.
Namun ketika ditanya mengenai perbuatannya kepada murid dan guru, Wahyu Ningsih tegas tak mengakuinya. "Saya tidak bisa untuk berkata iya. Tapi saya mohon maaf bagi yang merasa tersakiti. Kami bekerja sesuai RKTS (Rencana kerja tahunan sekolah)," ujarnya.
Ketua Komisi D Baktiono langsung menghentikan penjelasan Bu Yun karena dianggapnya berbelit-belit. Baktiono merekomendasikan kepala sekolah itu dipecat atau diganti.
"Komisi D merekomendasikan diganti, kami serahkan ke dinas pendidikan. Agar situasi kembali kondusif, kami berharap mulai besok ada pengganti dari Ibu Wahyu Ningsih," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Sementara itu, meski mengaku baru mendengar kasus itu, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Surabaya Eko Prasetyoningsih menilai sang kepala sekolah diduga melakukan pelanggaran.
Namun dia tidak menyebutkan berat atau ringkankah pelanggaran yang dilakukan Wahyu.
Ia mengatakan, meski mendekati Ujian Nasional, sang kepala sekolah bisa diganti kapan sajai.
"Ya nggak apa-apa. Kepala sekolah itu kan guru, hanya mendapatkan tambahan tugas. Besok pensiun nggak apa-apa. Semua ini akan saya laporkan ke Pak Sahudi (Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya)," kata Eko.(*)
A052/Z003
Oleh Abdul Hakim
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011
itu anak orang bukan anakmu,jgn main pukul seenaknya bukan kamu yg bikin.