Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR RI Satya Yudha Widia menyarankan agar pemerintah pusat tidak membeli sisa saham divestasi sebesar 7 persen PT Newmont Nusa Tenggara (PT NTT).
"Pemerintah berikan saja kepada Pemerintah Daerah NTB soal tersebut dan menempatkan dua orang operator asal putra daerah sana untuk mengelola," kata Satya Yudha kepada antaranews.com, di Jakarta, Minggu.
Politisi asal Partai Golkar itu menambahkan, pemerintah akan lebih bijaksana mempersiapkan BUMN-BUMN untuk mengantisipasi kalau terjadi seperti sekarang ini di PT NTT.
"Menkeu, Menteri ESDM, Menteri BUMN mempersiapkan diri dan masuk ke saham mayoritas saja dibanding masuk ke saham minoritas. Pemerintah seperti memaksakan diri membeli sisa saham tersebut. Padahal dulu ditawarkan sebesar 24 persen, pemerintah pusat tak mau. Tapi sekarang malah mau mengambil sisa saham divestasi sebesar 7 persen," kata dia.
Ia juga menyayangkan rencana pemerintah yang akan mengambil anggaran dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Pasalnya, kata Satya, PIP bukan BUMN.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis menilai, rencana pemerintah membeli sisa 7 persen saham divestasi PT NTT mengandung setidaknya dua kejanggalan.
Pertama, mengapa ketika jatuh tempo saham divestasi 3 persen di 2006 silam, pemerintah tidak mau mengambil kesempatan itu. "Tapi, ternyata di balik itu, pemerintah melayangkan gugatan arbitrase internasional," ungkap Harry Azhar.
Ia menduga, argumentasi yang diutarakan pemerintah melalui rilis Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Hadiyanto, baru-baru ini, bahwa putusan itu demi membangun tata kelola serta pengawasan pertambangan adalah patut dipertanyakan.
"Model pengawasan serta tata kelola yang seperti apa dengan kepemilikan saham hanya sebesar tujuh persen," katanya.
Kejanggalan kedua, kata Harry, yakni sumber dana pembelian saham divestasi perusahaan pertambangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu dialokasikan dari dana PIP. "Itu sama halnya dengan melanggar karena tak satu pun klausul amanat pembentukan PIP yang menyebutkan bahwa lembaga itu dibolehkan membiayai divestasi saham perusahaan tambang," papar dia.
Sebagai catatan, PIP mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1/2008 tentang Investasi Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau Indonesia Investment Agency (IIA).
Sedangkan, Wakil Direktur Refor Miner Institute, Komaidi menyatakan, pemerintah pusat tidak bisa seenaknya mengambil alih proses pembelian saham divestasi NNT. Sebab itu berpotensi melanggar UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
"Jika pemerintah pusat jadi mengambil alih saham divestasi Newmont, tetap saja ada porsi yang harus diberikan kepada daerah. Sebab itu menjadi hak bagi daerah sesuai UU 33/2004," ungkap Komaidi.
Dia berharap, Menkeu Agus Martowardojo menjelaskan secara transparan manfaat pembelian tujuh persen saham divestasi NNT atau setara harga penawaran 271,6 juta dolar AS.
"Menkeu mesti membeberkan argumentasi secara jelas agar tidak memicu kecurigaan. Yang pasti, proses divestasi itu tidak boleh menabrak kontrak yang ada," katanya.
Sebelumnya, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi di Istana Bogor (18/4), meminta pemerintah pusat tak mengambil tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara. Ia ingin saham itu didapatkan pemerintah daerah.
"Karena negara sudah cukup banyak, dari pajak saja Rp 5,7 triliun tahun 2010, sedangkan daerah dari royalti hanya Rp 260 miliar, atau 4,57 persen dari total yang diperoleh negara," kata Zainul.
Jika saham PT NTT didapat pemerintah daerah, maka kesejahteraan masyarakat di daerahnya bakal meningkat. Dengan lebih besar saham, lebih besar pula dividen yang akan masuk ke anggaran daerah.
Ia akan mengajukan keberatan jika pemerintah pusat berkukuh mengambil saham PT NTT.
"Pasti (protes), bukan hanya pemerintah daerah, tapi semua masyarakat NTB mengharapkan itu tidak dilakukan oleh Menteri Keuangan. Kasihlah peluang pada daerah, sehingga daerah nggak cuma dapat royalti, tapi juga dapat bagian dividen," ujar Gubernur yang telah bergabung ke Partai Demokrat itu.
Menurut dia, skema yang diajukan pemerintah daerah tak berubah dari kisaran 40-40-20. Pemerintah provinsi NTB, pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, dan pemerintah Kabupaten Sumbawa membentuk PT Daerah Maju Bersaing, perusahaan gabungan tiga pemerintah daerah. Pembagian dividen akan diberikan pada NTB sebesar 40 persen, Sumbawa Barat 40 persen, dan Sumbawa 20 persen.
Persentase perolehan deviden akan berubah ketika Dodo-Rinti di wilayah Kabupaten Sumbawa telah memasuki tahap eksploitasi. NTB tetap 40 persen, tetapi Sumbawa Barat berkurang menjadi 20 persen sementara Sumbawa jatahnya naik ke 40 persen.(*)
(Zul/R009)
Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011