Jakarta (ANTARA) - Kerusakan lingkungan yang mengendap, hingga potensi timbulnya konflik sosial-ekonomi menyadarkan akan pentingnya Indonesia beralih ke pemanfaatan energi bersih, ketimbang bergantung terus menerus terhadap energi fosil.
Transisi energi dari fosil ke energi bersih adalah keniscayaan bagi Indonesia, pun dunia.
Sumber energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas tak dapat dipungkiri telah menopang kegiatan masyarakat selama ini. Namun ketergantungan pada energi fosil bagaikan menanam bom waktu bagi kehidupan generasi penerus.
Pembakaran energi fosil telah melepaskan emisi karbon yang berkontribusi pada pencemaran udara, pemanasan suhu global, dan peningkatan permukaan air laut.
Dunia, termasuk Indonesia, menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang sudah tampak, seperti cuaca ekstrem yang memicu banjir dan longsor, angin siklon, kekeringan, hingga kenaikan permukaan air laut yang memicu abrasi di pesisir yang terjadi di sejumlah daerah.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terhitung sejak 1 Januari 2021 hingga 30 Oktober 2021, telah terjadi 2.203 bencana alam di Indonesia.
Rinciannya yakni 891 musibah banjir, 587 musibah puting beliung dan 406 musibah tanah longsor. Berbagai musibah ini menyebabkan 6,63 juta orang menderita dan mengungsi, 13.031 orang luka-luka, 549 orang meninggal dunia dan 74 orang hilang. Tak kurang dari 134.587 rumah mengalami kerusakan.
Rangkaian musibah tersebut menunjukkan kerusakan dan ketidakseimbangan lingkungan hidup. Selain itu, alam yang rusak dengan sumber daya yang semakin menipis telah menimbulkan potensi konflik karena melebarnya jurang ketidakadilan sosial-ekonomi.
Alarm dari alam telah menyadarkan dunia untuk tidak menunda-nunda transisi energi.
Sejumlah negara, termasuk Indonesia, mempunyai utang kebijakan dari Perjanjian Paris 2015 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 demi mengerem kenaikan suhu global tak mencapai 2 derajat celsius dan jika memungkinkan 1,5 derajat celsius di atas suhu praindustri.
Namun dalam enam tahun berjalan sejak Perjanjian Paris, komitmen yang dibuat oleh negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca diyakini tidak cukup untuk mencegah pemanasan global melebihi 1,5 derajat celsius. Hal itu terungkap dalam Konferensi Tingkat Tinggi COP26 di Glasgow, Skotlandia, awal November 2021 lalu.
Untuk itu, salah satu hal penting dari deklarasi KTT COP26 Pakta Iklim Glasgow adalah kesepakatan agar setiap negara wajib memperkuat target penurunan emisi gas rumah kaca pada pertemuan iklim akhir 2022 di Mesir.
Baca juga: Ikhtiar dunia dan Indonesia menghadapi perubahan iklim
Baca juga: Kadin bawa agenda penurunan gas rumah kaca di COP26 Glasgow
Kekayaan energi bersih
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), sebelum melawat ke tiga negara akhir Oktober 2021 lalu, menjanjikan bahwa Indonesia tidak akan mengikuti retorika yang tak dapat dijalankan dalam upaya mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Presiden menyebut Indonesia akan terus melangkah maju merealisasikan komitmennya. Indonesia akan mengembangkan industri energi bersih, membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, mengoptimalkan energi baru terbarukan (salah satu sumber energi bersih), dan membangun kawasan industri hijau terbesar di dunia.
Oleh sebab itu, pada bulan depan, Indonesia akan memulai pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara (Kaltara) yang mengandalkan energi terbarukan dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sungai Kayan dengan produksi listrik 11.000-13.000 megawatt.
Kini daya tarik investor telah bergeser. Para penanam modal lebih tertarik dengan produk ramah lingkungan yang dihasilkan dari industri hijau. Karena itu, menurut Presiden, sudah banyak investor yang mengantre untuk menanamkan modalnya di Green Industrial Park Kaltara.
Selain Sungai Kayan, pemerintah juga akan mencoba mengembangkan energi terbarukan dengan sumber tenaga air dari Sungai Mamberamo, Papua yang diperkirakan mampu menghasilkan 24 ribu megawatt.
”Indonesia ini memiliki 4.400 lebih sungai besar dan sungai sedang. Kalau 4.400 sungai ini dilarikan ke hydro power, kita bisa bayangkan,” kata Jokowi.
Selain energi terbarukan dari air, Indonesia juga memiliki kekayaan energi terbarukan dari panas bumi hingga 29 ribu megawatt.
”Belum urusan (energi terbarukan) angin, bayu. Urusan arus bawah laut, gede banget, belum bisa ngitung yang ini. Inilah kekuatan yang harus kita sadari dan segera kita manfaatkan untuk ke depan, anak cucu kita. Kekuatan ini yang ingin kita siapkan,” ujar Jokowi.
Dengan kekuatan besar energi bersih dan semakin sempitnya jendela waktu untuk meninggalkan energi fosil, Presiden mengatakan strategi transisi energi harus mulai ditata dan dilaksanakan.
Menurut data Kementerian ESDM, potensi energi bersih di Indonesia adalah sumber energi dari surya sebesar 3.294,4 gigawatt, air 94,6 gigawatt, bioenergi 56,9 gigawatt, angin 154,9 gigawatt, panas bumi 23,7 gigawatt, dan laut 59,9 gigawatt.
Sedangkan porsi energi bersih yang baru dimanfaatkan saat ini hanya sebesar 10.889 megawatt yang terdiri dari surya 194 megawatt, air 6.432 megawatt, bioenergi 1.923 megawatt, angin 154 megawatt, dan panas bumi 2.186 megawatt.
Selain potensi energi terbarukan, beragam potensi energi baru yang ada juga masih belum banyak diketahui, seperti uranium untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
Baca juga: Industri hulu migas topang ketersediaan energi yang terjangkau
Baca juga: PLN bangun pembangkit energi baru terbarukan 1,1 gigawatt tahun depan
Rencana besar
Saat ini, pasokan energi di Indonesia masih didominasi sumber daya fosil, yakni batu bara sebesar 67 persen, minyak atau bahan bakar 15 persen, dan gas 8 persen. Hal tersebut memperlihatkan masih dominannya penggunaan energi fosil di tengah kekayaan melimpah energi bersih yang dimiliki Indonesia.
Presiden Jokowi telah memerintahkan dua BUMN raksasa di sektor energi yakni PT Pertamina Persero dan PT PLN Persero untuk membuat rencana besar (grand design) transisi energi.
”Ini yang harus mulai disiapkan, mana yang bisa digeser ke hidro, mana yang bisa digeser ke geotermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu,” ujar Jokowi.
Transisi energi ini juga dibutuhkan untuk merealisasikan salah satu tujuan besar negara yakni untuk mewujudkan ketahanan energi dan menghapuskan ketergantungan pasokan impor energi sehingga dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.
“Goal (tujuan) besarnya adalah negara ini akan memperoleh keuntungan dalam bentuk neraca pembayaran kita yang sudah berpuluh tahun kita tidak bisa selesaikan karena problemnya impor minyak kita terlalu besar sekali," kata Presiden
Namun, pemerintah menyadari transisi ke energi bersih membutuhkan biaya yang mahal. Tak mungkin pemerintah menutupi pembiayaan itu dengan APBN yang masih mengalami defisit, ataupun pendanaan BUMN.
Lebih sulit lagi, jika pemerintah membebankan pembiayaan pengembangan energi bersih ke harga yang dijual ke konsumen karena bisa mengguncang stabilitas sosial dan politik.
“Ramai nanti, karena kenaikannya tinggi sekali. Wong (tarif listrik) naik 10-15 persen saja demonya tiga bulan,” kata Presiden.
Negara-negara maju, --yang menikmati paling banyak manfaat ekonomi dari energi fosil--, pernah berkomitmen akan membantu pembiayaan untuk transisi energi hingga 100 miliar dolar AS. Realisasi dari komitmen itu masih ditunggu. Para negara yang mengikuti KTT COP 26 awal November 2021 lalu, mendesak negara-negara maju segera memberi kejelasan atas komitmen mereka untuk menyediakan dana.
“Tahun ini dibicarakan lagi yang skemanya juga belum ketemu. Dijanjikan 100 milar dolar AS, tapi keluarnya dari mana juga belum ketemu,” kata Jokowi.
Presiden Jokowi telah menugaskan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk mencari skema terbaik dari sisi harga dan keberlanjutan industri dalam program transisi energi.
Pengembangan energi hijau merupakan salah satu strategi besar ekonomi dan bisnis negara yang kerap disampaikan Presiden Jokowi.
Dengan sederet permasalahan yang ada, Indonesia memang tak bisa hanya mengandalkan jargon atau retorika dalam transisi energi, melainkan harus bersungguh-sungguh.
Perlu ada peta jalan yang jelas, insentif untuk masuknya pendanaan, infrastruktur untuk menarik investasi hijau, hingga dukungan politis agar terjadi akselerasi.
Mengingat pentingnya transisi energi di tengah usia bumi yang semakin tua, kontribusi seluruh pihak sangat dinanti untuk mewariskan lingkungan yang sehat bagi generasi penerus.
Baca juga: IESR: Perlu aksi nyata transisi energi untuk turunkan emisi GRK
Baca juga: Isu perubahan iklim tenggelam dalam diskusi sosial, kata pejabat BMKG
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021