Jakarta (ANTARA) - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kembali menjadi perbincangan publik setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

MK berpendapat, UU Ciptaker bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan".

RUU Ciptaker merupakan inisiatif pemerintah yang diajukan ke DPR pada awal tahun 2020 untuk dibahas bersama dan disetujui parlemen menjadi UU pada Oktober 2020.

Pembahasannya dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang prosesnya dibahas bersama pemerintah dengan mengundang berbagai elemen masyarakat, akademisi, pakar, praktisi dan pengusaha.

Pembahasan RUU tersebut dilakukan hingga larut malam bahkan tetap dibahas meskipun DPR sedang masa reses dan kondisi Indonesia masih dalam situasi pandemi COVID-19.

Proses pembahasan sebuah RUU yang kurang dari setahun termasuk cepat, hal itu bisa dibandingkan dengan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), maupun RUU Masyarakat Adat.

Percepatan pembahasan RUU Ciptaker tersebut cukup beralasan karena berdasarkan pernyataan pemerintah, RUU tersebut sangat urgen antara lain sebagai bentuk penyederhanaan, sinkronisasi dan pemangkasan regulasi atas banyaknya aturan dan regulasi atau "hyper-regulasi", yang menghambat pencapaian tujuan untuk penciptaan lapangan kerja.

Pemerintah juga menilai RUU tersebut dapat mendorong peningkatan investasi, sehingga akan mampu menciptakan lapangan kerja baru, dengan tetap memberikan perlindungan dan kemudahan bagi UMKM dan Koperasi, serta meningkatkan perlindungan bagi pekerja atau buruh.

Baca juga: Puan: DPR siap menindaklanjuti Putusan MK terkait UU Ciptaker

Baca juga: Pemerintah targetkan revisi UU Ciptaker kurang dari dua tahun

Namun dalam prosesnya, RUU tersebut sempat mendapat kritik dari berbagai elemen masyarakat khususnya buruh yang menilai RUU tersebut tidak berpihak kepada kepentingan pekerja.

Karena itu, pembahasan RUU Ciptaker khususnya klaster ketenagakerjaan dibahas pada bagian akhir, namun pada akhirnya RUU yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal tersebut disetujui DPR dalam Rapat Paripurna pada Senin (5 Oktober 2020).

Dalam Rapat Paripurna pada Senin (5 Oktober 2020) sempat diwarnai penolakan dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS untuk pengambilan keputusan. Namun kedua partai tersebut kalah suara, dan akhirnya RUU Ciptaker disetujui DPR dengan dukungan mayoritas fraksi.

Respon terhadap Putusan MK
Menanggapi Putusan MK terkait UU Ciptaker, Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menyambut baik putusan tersebut karena memenuhi rasa keadilan dan kegelisahan rakyat luas terhadap pemberlakuan UU Cipta Kerja.

Meskipun putusan MK tersebut bersifat formil, namun Jazuli meminta pemerintah dan DPR harus menangkap pesan substansial di luar formil putusan.

MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun, jika tidak menjadi inkonstitusional permanen. Karena itu jika perbaikan UU Ciptaker dilakukan harus jelas pesan keberpihakannya bagi masyarakat.

Pesan masyarakat terhadap UU Ciptaker harus dipenuhi DPR dan pemerintah bahwa UU tersebut merugikan kepentingan rakyat luas seperti buruh, petani, nelayan, penyandang disabilitas seperti yang selama ini disuarakan publik.

Dia berharap pemerintah tunduk dan patuh dengan poin lain putusan MK untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak menerbitkan aturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai DPR dan pemerintah segera menginisiasi perbaikan UU Ciptaker pasca-Putusan MK tersebut. Langkah itu menurut dia karena waktu yang tersedia sangat sempit mengingat ruang lingkup dan jumlah pasal dalam UU Ciptaker sangat banyak.

Menurut dia, pada sisi yang lain, Putusan MK tersebut akan menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR terutama karena pengalaman membuat omnibus law masih sangat baru di Indonesia.

Karena itu dia menilai sangat wajar jika MK memberikan koreksi dan perbaikan sehingga ke depan jika ada agenda pembahasan RUU Omnibuslaw atau RUU lainnya, semua catatan yang mengiringi putusan MK ini harus diperhatikan.

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani menilai Putusan MK tersebut merupakan uji formil yaitu memutuskan undang-undang yang ada dengan putusan inskontitusional bersyarat.

Baca juga: Aryani sebut DPR apresiasi langkah cepat Jokowi respon putusan MK

Baca juga: Menko Airlangga tegaskan LPI tetap beroperasi setelah keputusan MK


Dengan putusan itu maka pembentuk undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR, harus memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang agar memenuhi syarat-syarat formilnya.

Dia menilai Putusan MK tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah karena apabila Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah memperbaiki syarat formil maka nanti ada yang tidak puas dengan masalah materiilnya, pastinya selanjutnya akan ada keinginan untuk melakukan uji materiil terhadap UU Cipta Kerja lagi.

Karena itu menurut dia, seharusnya MK memutuskan sekaligus yaitu uji formil dan materiil sehingga pembentuk UU dapat mengganti atau memperbaiki sekaligus.

Arsul menilai UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada MK sebatas pada uji materiil bukan uji formil sehingga ketika lembaga itu memberi putusan mengabulkan uji formil maka bisa menimbulkan persoalan.

Dia meminta masyarakat kritis terhadap Putusan MK tersebut, meskipun dinilai banyak pihak telah memenuhi harapan publik.

DPR bergerak cepat
Anggota Baleg DPR RI Christina Aryani mengatakan DPR RI sangat terbuka memperbaiki UU tersebut pasca-Putusan MK.

Perbaikan UU Ciptaker harus ditindaklanjuti segera sehingga sebelum tenggat waktu dua tahun seharusnya sudah bisa selesai. Karena salah satu putusan MK menyebutkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) bila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun.

Christina menilai Omnibus Law menjadi "jalan keluar" untuk mengatasi berbagai persoalan peraturan perundang-undangan yang dialami Indonesia secara cepat, efektif dan efisien serta dapat menjadi solusi untuk melakukan penataan dan harmonisasi "existing" regulasi.

Anggota Komisi I DPR RI itu menilai, praktik pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law baru benar-benar dikenal publik ketika proses legislasi dalam pembentukan UU Cipta Kerja dimulai dan hingga kini sudah lahir setidaknya 4 peraturan perundang-undangan yang disusun menggunakan metode tersebut.

UU Ciptaker memiliki karakter metode "Omnibus Law" yaitu penyederhanaan peraturan sebanyak 78 UU. Namun, metode tersebut belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

Hakim konstitusi menilai karakter metode "omnibus law" dalam UU Ciptaker berbeda dengan pembentukan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dan UU 7/2017 tentang Pemilu yang dijadikan contoh oleh pemerintah terkait proses pembentukan UU Ciptaker.

Anggota Baleg DPR RI Firman Soebagyo memahami keputusan MK tersebut, karena itu Baleg akan segera merevisi UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).

Langkah itu menurut dia untuk menormakan frase "Omnibus Law" dalam UU PPP agar UU Ciptaker tidak dianggap inkonstitusional seperti yang diputuskan MK.

Namun dia menilai, dalam UU Ciptaker tidak ada frase Omnibus Law dalam UU tersebut karena hal itu merupakan konsep atau gagasan dalam penyusunan sebuah regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

Langkah untuk merevisi UU PPP pun tidak mudah, karena ada mekanisme yang harus dijalankan di DPR RI yaitu memasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Saat ini Prolegnas Prioritas 2021 sebanyak 33 RUU, terdiri dari 21 RUU usulan DPR RI, 10 RUU usulan pemerintah, dan dua RUU usulan DPD RI.

Firman mengatakan, langkah untuk merevisi UU PPP yaitu dengan memasukkannya dalam Prolegnas Prioritas 2022 dan Pimpinan Baleg segera membahasnya.

Di sisi lain, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan menyampaikan surat kepada Pimpinan DPR untuk memasukkan revisi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022.

Revisi UU Cipta Kerja tersebut terkait dengan pasal yang mengandung ketenagakerjaan seperti pelaksanaan ketenagakerjaan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengupahan.

Firman Soebagyo menilai langkah pemerintah tersebut sudah tepat karena keputusan merevisi UU Ciptaker dapat dilakukan bersamaan dengan revisi UU PPP.

Dia menilai, di satu sisi DPR memasukan norma Omnibus Law dalam UU PPP dan di sisi lain pemerintah memperbaiki konten yang ada dalam UU Ciptaker melalui revisi UU.

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya memastikan langkah resmi Baleg DPR yang akan diambil pasca-Putusan MK terkait UU Ciptaker. Menurut dia, saat ini pihaknya sedang menampung aspirasi dan gagasan semua pihak sebelum mengambil langkah selanjutnya.

Langkah cepat pemerintah dan DPR tentu ditunggu masyarakat karena salah satu poin dalam Putusan MK tersebut menyatakan bahwa "dalam masa 2 tahun perbaikan maka pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Ciptaker dinyatakan berlaku kembali".

Namun yang terpenting adalah materi perbaikan UU Ciptaker perlu mendengarkan aspirasi publik seperti yang selama ini disuarakan kalangan buruh, mahasiswa dan masyarakat luas.

​​​​​​​Pemerintah juga telah berkomitmen bahwa revisi UU Ciptaker terkait pasal klaster ketenagakerjaan seperti pelaksanaan ketenagakerjaan, jaminan kehilangan pekerjaan, dan pengupahan.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021