Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta mengatakan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih bersifat kolonial, belum bersifat berdikari terlihat dari pihak asing yang terlalu banyak menguasai jantung perekonomian Indonesia.
"Sistem ekonomi kapitalis yang berkembang di Indonesia saat ini adalah warisan kolonial. Sistem ekonomi kita belum berdikari," kata Arif dalam diskusi terbuka "Untuk Asing Istimewa, Untuk Rakyat Merana" di Jakarta, Jumat.
Ia menambahkan, sifat ekonomi Indonesia yang masih bersifat kolonial itu terlihat dari tiga faktor yakni, konsumsi, produksi, dan transaksi atau perdagangan.
"Masyarakat Indonesia saat ini lebih suka menggunakan atau mengkonsumsi barang-barang impor, faktor ini harus menjadi perhatian pemerintah," kata dia
Dalam faktor produksi, saat ini Indonesia juga hanya sebagai pemasok bahan mentah yang kemudian menjadi pasar bagi barang jadi, gejala itu terlihat dari pengerutan sektor industri pengolahan yang semakin parah.
"Walaupun barang produksi itu keluar dari perut Indonesia, tetapi yang `operate` hampir seluruhnya dikuasai asing, harusnya pengelolaan itu ada di kita," kata dia.
Sementara untuk faktor transaksi, lanjut dia, perdagangan Indonesia mengalami posisi defisit terlihat dari posisi impor yang lebih banyak posrsinya.
"Impor menguasai 29 persen dan ekspor hanya 27 persen ada selisih disitu, hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia bersifat kolonial," kata dia.
Dalam kesempatan itu hadir pula, Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti, dan Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan.
Ichsanuddin Noorsy menambahkan, posisi Indonesia saat ini hanya sebagai tempat laboraturium asing yang akan mengeruk kekayaan Indonesia.
"sumberdaya ekonomi Indonesia seperti pertambangan, perkebunan, properti dan lainnya dikuasai, diproduksi oleh pihak asing dan akhirnya juga dinikmati oleh pihak asing juga," kata dia.
Ia menambahkan, pertumbuhan ekonomi indonesia yang terus tumbuh salah satunya karena ditopang oleh asing yang menguasai perekonomian dalam negeri.
"Nah, jika kita tidak menguasai perekonomian kita sendiri, maka kita akan bergantung pada impor, sehingga tidak akan menguasai konsumsi," kata Noorsy.
Ia menambahkan, dalam membuat kebijakan juga tidak lepas dari intervensi asing yang diperjelas dalam mekanisme pemberian utang program.
Salah satu UU yang dihasilkan, kata Noorsy, yakni UU 25/2007 tentang penanaman modal, sebagai rezim pengaturan investasi baru yang memperbolehkan modal asing berinvestasi hingga 95 persen di hampir semua sektor.
Pada kempatan yang sama, Dani Setiawan mengatakan, perlakuan istimewa terhadap lembaga asing tercermin dalam pembuatan produk legislasi berupa UU maupun peraturan lainnya yang merupakan jalan bagi pelaksanaan agenda liberalisasi dan privatisasi.
Hal itu, kata dia, dilakukan sesuai dengan arahan pihak kreditor dan implementasi dari berbagai kesepakan dan perjanjian internasional dibidang ekonomi seperti salah satunya kesepakatan internasional dalam rangka G-20 atau ASEAN.
"Hal itu berujung pada lahirnya produk kebijakan yang merugikan rakyat bahkan terbukti bertentangan dengan konstitusi," ujar dia.(*)
(T.KR-ZMF//B012)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011