Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa hari terakhir ini berbagai macam media massa Afrika Selatan mengupas fakta mengenai rumah sakit-rumah sakit di seantero negeri itu yang menemukan gejala tidak biasa namun amat ringan yang diakibatkan varian baru virus corona yang disebut Omicron.
Baca juga: WHO: Omicron timbulkan risiko global yang sangat tinggi
Menurut laporan media massa Afrika Selatan itu 90 persen dari semua kasus baru infeksi Omicron di Johannesburg yang merupakan daerah terparah diserang varian baru COVID-19 ini, tidak menimbulkan kematian.
"Gejalanya memang berbeda sekali dan sangat ringan dibandingkan dengan pasien-pasien COVID (non-Omicron) yang pernah saya tangani sebelumnya," kata dr. Angelique Coetzee kepada media massa Afrika Selatan.
Fakta ini melecut sejumlah kalangan untuk membuat hipotesis awal bahwa Omicron memang varian yang lebih menular tetapi varian ini kurang begitu maut. Dalam kata lain, lebih jinak dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya.
Namun apa pun itu, dunia tak boleh menyepelekan varian ini, sebaliknya tetap waspada tanpa harus paranoid sehingga tak membunuh optimisme untuk hidup lebih sehat, lebih tenang dan lebih sejahtera.
Dalam hampir dua tahun ini, komunitas kesehatan dunia termasuk Organisasi Kesehatan Dunia WHO dan kampus-kampus elit yang menjadi pionir dalam inovasi-inovasi kesehatan tak henti meneliti untuk kemudian mengabari dunia mengenai COVID-19 dan varian-variannya, termasuk Omicron.
Sejumlah pihak, terutama yang menyangkal COVID-19, mungkin sudah tak ingin lagi mendengar varian baru ini.
Mungkin mereka menganggap kabar itu mendramatisasi dan mengembangbiakkan paranoia, bahkan mengaitkan dengan teori konspirasi liar termasuk dengan kalangan-kalangan tertentu yang diuntungkan oleh bencana seperti yang terlibat dalam produksi dan distribusi vaksin.
Tetapi informasi yang lebih ditujukan agar umat manusia tetap waspada dan tidak cepat berpuas diri itu, justru membuat umat manusia menjadi selalu awas, lebih berpengetahuan dan lebih siap menghadapi kemungkinan hal terburuk apa pun.
Buktinya, dalam keadaan diri yang sangat bersiap diri karena sangat terinformasi, ternyata berbuah besar dalam bagaimana umat manusia dan para pemimpin dunia menanggapi pandemi COVID-19 yang disebut tokoh terkemuka dunia Bill Gates sebagai fenomena 100 tahun sekali, yakni pandemi COVID-19 tidak merenggut nyawa dalam jumlah besar seperti terjadi pada pandemi flu Spanyol.
Flu Spanyol yang acap disebut pandemi influenza 1918 adalah pandemi influenza global yang amat mematikan yang seperti pandemi COVID-19 muncul bergelombang, empat gelombang, selama tiga tahun.
Penyebabnya adalah virus influenza A H1N1 yang adalah subtipe dari virus influenza A yang sangat menular dan menimbulkan infeksi saluran pernapasan atas. Gejala-gejalanya meliputi sekret hidung, menggigil, demam, nafsu makan menurun, dan dalam beberapa kasus menciptakan penyakit saluran pernapasan bagian bawah.
Kasus ini pertama kali tercacat secara medis pada Maret 1918, di Kansas, Amerika Serikat. Satu bulan kemudian kasus serupa muncul di Prancis, Jerman dan Inggris.
Namun dua tahun setelahnya, hampir sepertiga penduduk dunia saat itu atau sekitar 500 juta orang tertular flu Spanyol.
Jumlah kematiannya pun fantastis. 17 juta sampai 50 juta nyawa manusia di seluruh dunia direnggut virus ini, bahkan diyakini mencapai 100-an juta orang.
Baca juga: Satgas: Pemerintah perketat kedatangan luar negeri cegah varian baru
Baca juga: Dugaan kasus pertama COVID-19 Omicron ditemukan di Swiss
Baca juga: Selandia Baru akan longgarkan aturan COVID di tengah ancaman Omicron
Copyright © ANTARA 2021