Tripoli (ANTARA News) - Sejumlah warga sipil tewas dalam serangan udara NATO, Kamis, di kota Gharyan, 90 kilometer sebelah baratdaya Tripoli, kata kantor berita Libya Jana.
"Gharyan menjadi sasaran pemboman pasukan penyerang Salib kolonial, Kamis," katanya mengutip satu sumber militer. "Sejumlah warga sipil tewas dan beberapa lain cedera."
Serangan udara itu menghancurkan rumah-rumah dan membuat takut wanita serta anak-anak, kata Jana tanpa menyebutkan jumlah korban.
Tidak ada konfirmasi independen mengenai laporan kantor berita itu.
Rabu, Jana mengatakan, tujuh warga sipil tewas dan 18 cedera akibat serangan udara NATO di sekitar Khallat al-Farjan, daerah pinggiran baratdaya Tripoli, ibu kota Libya.
Namun, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengatakan, tidak ada indikasi serangan pasukan itu menewaskan warga sipil di dekat Tripoli pada Rabu.
"Serangan udara NATO dilakukan di sekitar Khallat al-Farjan. Sasarannya adalah bunker komando dan kendali di dalam kompleks militer," kata seorang pejabat NATO yang tidak bersedia disebutkan namanya kepada AFP.
Libya kini digempur pasukan internasional sesuai dengan mandat PBB yang disahkan pada 17 Maret.
Resolusi 1973 DK PBB disahkan ketika kekerasan dikabarkan terus berlangsung di Libya dengan laporan-laporan mengenai serangan udara oleh pasukan Moamer Kadhafi, yang membuat marah Barat.
Selama beberapa waktu hampir seluruh wilayah negara Afrika utara itu terlepas dari kendali Kadhafi setelah pemberontakan rakyat meletus di kota pelabuhan Benghazi pada pertengahan Februari. Namun, kini pasukan Kadhafi dikabarkan telah berhasil menguasai lagi daerah-daerah tersebut.
Ratusan orang tewas dalam penumpasan brutal oleh pasukan pemerintah dan ribuan warga asing bergegas meninggalkan Libya pada pekan pertama pemberontakan itu.
Kadhafi (68) adalah pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa. Kadhafi bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak.
Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.
Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.
Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.
Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.
Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.
Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011