Jakarta (ANTARA) - Industri asuransi di Indonesia dinilai bisa lebih berkembang jika persaingan pada lini bisnis asuransi kredit yang kurang sehat dalam beberapa tahun belakangan segera dibenahi, karena telah mengakibatkan tarif premi menjadi rendah seiring cakupan rasio kegagalan kredit yang cenderung meluas.

“Persaingan usaha yang tidak sehat pada industri asuransi mengakibatkan gap yang semakin lebar antara risiko yang dihadapi dengan nilai preminya,” kata Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS), Nurmadi Harsa Sumarta, dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Pada tahun 2020 lini asuransi kredit sempat mengalami lonjakan klaim yang cukup tinggi di saat perolehan preminya malah menurun.

Tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19 telah mengganggu kemampuan masyarakat dalam mencicil kredit, sehingga jelas berdampak kepada lini bisnis asuransi kredit. Situasi ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan penerbit asuransi kredit mengalami tekanan berat.

Risiko klaim asuransi kredit masih memiliki potensi membesar pun tetap ada, mengingat ancaman kredit macet belum sirna karena ekonomi masyarakat juga belum pulih saat ini.

Pembengkakan klaim juga bisa muncul sebagai akibat dari kredit periode jangka panjang yang polisnya telah terbit sebelumnya. Belum lagi soal penerapan tata kelola dan manajemen risiko di lini asuransi kredit yang masih rendah, sehingga ikut menjadi beban.

Untungnya, risiko masih bisa diminimalisir melalui relaksasi fasilitas kredit perbankan, sehingga debitur dapat membayarkan kewajiban cicilan ke kreditur. Namun, perlu diingat bahwa nasabah asuransi kredit memiliki profil risiko lebih tinggi dibandingkan asuransi lainnya.

Baca juga: AAJI: Bisnis asuransi jiwa 2021 akan lebih baik dari sebelum pandemi

“Jika relaksasi dicabut saat ekonomi masyarakat belum pulih, maka akan berpotensi terjadi kredit macet. Ini akan mengakibatkan klaim asuransi kredit membengkak,” ujar dia.

Menurut Nurmadi, perusahaan harus selalu mempelajari portofolio asuransi kreditnya dengan menghitung rasio klaim. Ini perlu dilakukan guna memastikan apakah portofolio asuransi kredit yang ada saat ini masih akan memberikan hasil underwriting bagus atau tidak.

Tata kelola perusahaan asuransi yang baik menjadi sangat krusial untuk dilakukan oleh perusahaan yang memiliki lini asuransi kredit agar bisnis tetap terjaga. Ia mencontohkan seperti yang dilakukan pemerintah dengan membentuk Indonesia Financial Group (IFG) selaku holding perusahaan pelat merah nonbank yang meliputi perasuransian dan penjaminan, untuk terlibat langsung dalam konsolidasi dan transformasi menyeluruh penyehatan serta sustainability keuangan anak usahanya.

Dalam aspek manajemen risiko dan operasional, IFG bertugas memastikan semua anak usaha harus menjalankan tata kelola manajemen yang baik, menghindari perebutan pangsa pasar dan perang harga, serta menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan portofolio.

“Termasuk melakukan penguatan iklim bisnis, khususnya pada asuransi kredit seperti yang baru saja dilakukan antara PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dengan BNI dan BTN beberapa waktu lalu itu sudah tepat,” ujar Nurmadi

Penguatan tersebut dilakukan dalam rangka menciptakan bisnis asuransi kredit yang sehat, berkelanjutan, dan saling menguntungkan, bagi pihak-pihak yang terlibat. Inisiatif ini merupakan bagian dari usaha pembenahan tata kelola dan manajemen risiko.

Baca juga: AAJI: Pandemi pengaruhi kesadaran perlindungan diri masyarakat

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021