Pemanfaatan ruang digital meminimalkan interaksi secara fisik.
Jakarta (ANTARA) - Penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah untuk pertama kalinya direncanakan digelar pada tahun yang sama, 2024.
Dalam prosesnya, pemilu serentak direncanakan akan digelar di awal atau mendekati pertengahan tahun, kemudian disusul oleh pilkada serentak di akhir 2024.
Berkaca pada penyelenggaraan periode sebelumnya, pemilu serentak sesungguhnya membuat beban kerja penyelenggara pemilu begitu berat. Hal itu bisa dilihat pada penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, yakni Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi serta kabupaten dan kota pada tahun 2019.
Penyelenggara punya beban kerja yang terlalu berat di tahapan Pemilu Serentak 2019, khususnya pada tahapan penghitungan serta rekapitulasi suara. Ketika itu banyak petugas ad hoc penyelenggara pemilu yang menjadi korban.
Setidaknya, berdasarkan data yang dihimpun KPU, terdapat sekitar 718 petugas pemilu yang meninggal dunia karena kelelahan.Terdapat pula ribuan petugas mendapatkan perawatan karena kelelahan menyelenggarakan tahapan.
Jika digabung dengan data petugas Bawaslu, TNI, dan Polri yang gugur maupun mendapatkan perawatan, jumlah korban pada penyelenggaraan Pemilu 2019 tentunya lebih banyak lagi.
Pengalaman 2019, kata Ketua KPU RI Ilham Saputra, perlu menjadi evaluasi bagi bersama. Rekan-rekannya di badan ad hoc kesulitan dalam melakukan administrasi hasil pemilu di setiap tahapan, tentu menjadi persoalan. Jadi, jangan sampai pada Pemilu 2024 terulang lagi.
Apalagi, pada tahun 2024 pesta demokrasi tidak hanya pemilu serentak, tetapi juga pemilihan kepala daerah serentak d iratusan wilayah di Indonesia.
Untuk mengantisipasi temuan-temuan seperti pada Pemilu 2019 agar tidak terjadi lagi pada tahun 2024, tentunya perlu ada penyederhanaan tugas penyelenggara sehingga beban para petugas pemilu nantinya tidak lagi terlalu berat.
Salah satu upaya, yakni dengan memanfaatkan teknologi kepemiluan. Teknologi akan memudahkan dan menyederhanakan kerja-kerja pada tahapan pemilu.
Contohnya, penggunaan sistem rekapitulasi elektronik atau yang dinamakan KPU dengan Sirekap. Sirekap terbukti memudahkan penyelenggara mengenai rekapitulasi hasil pemilihan.
Pada periode penyelenggaraan pemilu sebelumnya, rekapitulasi membutuhkan upaya yang besar dengan waktu yang tersedia begitu singkat. Rekapitulasi secara berjenjang mulai dari tempat pemungutan suara, di tingkat kecamatan, kabupaten dan kota, rekapitulasi kembali diulang pada tingkat provinsi, hingga berakhir di pusat.
Belum lagi tekanan dari para peserta pemilu, pemantau, bahkan pihak lainnya yang mempermasalahkan setiap tahapan rekapitulasi. Sudah lazim di setiap tingkatan rekapitulasi ada saja peserta yang tidak terima hasil rekapitulasi dengan alasan masing-masing. Hal seperti ini tentu menambah tekanan dan beban kerja penyelenggara.
Sementara itu, dengan sistem rekapitulasi elektronik, KPU bisa memangkas dan menyederhanakan tahapan panjang dari rekapitalisasi secara fisik, seperti pada pemilu sebelumnya.
Selain itu, juga ada sistem aplikasi berbasis teknologi informasi lainnya yang ikut menyederhanakan tugas penyelenggara pemilu, seperti sistem informasi data pemilih (Sidalih), sistem informasi partai politik (Sipol), dan sejumlah aplikasi lainnya.
Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah sistem kepemiluan berbasis elektronik tersebut tidak bisa diterapkan menggantikan proses-proses atau sistem kepemiluan yang sudah berjalan sebelumnya. Hal itu karena sistem kepemiluan berbasis elektronik belum diakomodasi dalam undang-undang pemilu.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memandang perlu perbaikan atau revisi dari Undang-Undang Pemilu demi penyempurnaan landasan hukum dari regulasi kepemiluan.
Revisi UU Pemilu salah satunya dibutuhkan demi kepastian hukum untuk penggunaan teknologi dalam kepemiluan Indonesia.
Penggunaan teknologi diyakini dapat meringankan beban kerja penyelenggara, seperti Sirekap yang meringkas beban kerja dan durasi yang diperlukan dalam kegiatan rekapitulasi.
Tanpa kepastian hukum dalam tataran undang-undang untuk teknologi kepemiluan, dikhawatirkan akan menyebabkan persoalan seperti yang terjadi pada tahun 2019. Namun, kata dia, penggunaan teknologi kepemiluan mendapatkan penolakan dari beberapa pihak karena tidak diatur dalam undang-undang.
Undang-Undang Pemilu ketika mengakomodasi sistem teknologi kepemiluan juga memberikan kesempatan untuk menambah dasar hukum mengenai penyelenggaraan dalam kondisi bencana nonalam seperti kondisi pandemi saat ini.
Penyelenggaraan pemilu dinilai perlu adaptif terhadap kondisi bencana nonalam, khususnya pandemi COVID-19, karena belum ada satu pun yang bisa memastikan pada Pemilu 2024 pandemi COVID-19 benar-benar sudah berakhir.
Anggota KPU RI Viryan Aziz mengatakan penyelenggaraan hari pemilu 3 tahun lagi. Akan tetapi, hal itu bukan merupakan waktu yang panjang untuk membangun dasar hukum dan sistem yang menggunakan teknologi pada pemilu dan Pilkada 2024.
Namun, KPU yakin waktu tersebut masih cukup untuk menyiapkan teknologi kepemiluan sehingga nantinya bisa dimanfaatkan.
Teknologi kepemiluan bagi pemilu dan pilkada mendatang idealnya sudah bisa diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kondisi.
Pertama, pada bulan Januari 2021, data penduduk Indonesia dengan rentang usia 16—64 tahun yang mengakses internet sudah mencapai 98 persen. Mereka mayoritas mengakses melalui gawai atau telepon pintar.
Tingkat pertumbuhan pengguna internet di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Catatan data pada tahun 2015 tingkat pertumbuhan sekitar 10 persen, kemudian pada bulan Januari 2021 pertumbuhan berada di angka 15,5 persen.
Hal itu menunjukkan ekosistem atau persyaratan utama yang menjadi kepentingan KPU, yaitu melayani pemilih lewat ruang digital sudah makin memungkinkan dan makin tinggi.
Baca juga: Bawaslu apresiasi simulasi pemungutan suara penyederhanaan surat suara
Baca juga: KPU: Penyederhanaan desain surat suara upaya permudah Pemilu 2024
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021