Ada sembilan halaman yang sudah saya hafal, mulai dari waktu mula-mula, kisah pohon yang dipotong hingga akhir cerita"
Makassar (ANTARA News) - Tokoh penting yang membacakan sureq (naskah), Puang Matoa Saidi dalam pementasan I La Galigo telah menghafal sembilan naskah dialog yang dibebankan sutradara dalam pementasan itu.
Setelah sekian lama berkeliling dunia, Saidi mengaku sudah terbiasa membaca sureq dalam naskah itu sehingga dirinya sudah mulai menghafal sembilan naskah yang menjadi tugas utamanya dalam pementasan I La Galigo.
"Ada sembilan halaman yang sudah saya hafal, mulai dari waktu mula-mula, kisah pohon yang dipotong hingga akhir cerita," ucap Puang Matoa Saidi saat ditemui di Makassar, Kamis.
Inti cerita dari 12 adegan yang ditampilkan dalam pementasan ini, kata dia menggambarkan kisah cinta terlarang tokoh utama, Sawerigading dengan saudari kembarnya We Tenriabeng yang perjalanannya mampu mengusir nafsu yang dapat menghancurkan kerajaan Luwu.
Dia menceritakan, sureq Galigo menggambarkan suatu kisah perjalanan keturunan para dewa saat menembus rangkaian tiga dunia yang mencakup dunia atas dan dunia bawah, jagat dewa dan dunia tengah.
"Sawerigading yang dikisahkan dalam naskah itu, bercerita tentang ikatan suci antara manusia dan dewa, manusia dan alam serta hubungan manusia dengan manusia," kata dia .
Pemimpin tertinggi komunitas Bissu di Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel ini menjadi pusat perhatian banyak pencinta teater internasional sejak Puang Saidi terlibat dalam pementasan teater Galigo yang telah pentas di Belanda, Italia, Amerika, Singapura, Perancis dan negara dunia lainnya.
Pementasan Galigo di Makassar, tutur dia banyak mengalami perubahan mulai perlengkapan ritual hingga kostum yang digunakan dirinya telah dipakai barang-barang yang asli, bukan lagi aksesoris milik tim kreatif pementasan Galigo.
"Panitia telah mengijinkan saya memakai perlengkapan ritual milik saya di kampung. Saya sudah sewa mobil ke Segeri, membawa alat-alat yang biasa dipakai ritual disini," ucap Saidi dengan dialeg bugisnya yang masih cukup kental.
Meskipun tidak seluruh perangkat ritual yang digunakan dalam pementasan itu, dia mengaku sudah cukup lega karena aksesoris yang digunakan sudah sesuai dengan adat masyarakat bugis.
"Seperti sanggul di kepala saya tidak pakai plastik lagi, tetapi sudah pakai sanggul yang asli," ujar dia.
(ANT/A038)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011