Bandung (ANTARA News) - Wayang Tavip menjadi salah satu peserta Bandung Wayang Festival 2011 yang unik karena dibuat dari limbah botol plastik minuman mineral.

"Wayang ini merupakan hasil proses kreasi dari lingkungan. Akhirnya saya dapatkan ide menjadikan limbah plastik menjadi bahan wayang," kata Muhammad Tavip (46), pencetus wayang yang mirip wayang kulit itu di Bandung, Rabu.

Wayang yang muncul dari ide kreasi M Tavip pada 2003 itu sudah manggung di sejumlah negara seperti di Yunani, Spanyol, Korea bahkan di Vietnam mendapat penghargaan sebagai kreasi seni orisinal.

Cara memainkan Wayang Tavip hampir mirip dengan pergelaran wayang kulit, namun wayang karya pria kelahiran Kabupaten Bandung tersebut mendapat sentuhan teknologi dan menggunakan pencahayaan layaknya pembuatan film.

Meski bisa dibuat dari bahan plastik mulus, namun Tavip menjadikan bahan bekas minuman mineral sebagai bahan khas wayang karyanya itu. Meski perukaannya tidak rata dan `grinjul-grinjul`, namun di tangan lulusan Pasca Sarjana STSI Bandung itu menjadi sebuah kreasi seni menarik dan unik.

"Cara mainnya harus paham seperti memainkan kamera ada pencahayaan panjang, pendek. Saat monolog wayang gambarnya lebih dibesarkan, sama seperti membuat film," kata Tavip yang sebelumnya adalah penata panggung teater itu.

Sementara itu tokoh-tokoh pada wayang Tavip tidak seperti wayang lainnya yang menggambarkan tokoh-tokoh Mahabarata atau Ramayana, namun gambarnya disesuaikan dengan tokoh-tokoh abstrak, kartun dan juga bisa tokoh yang dikehendaki oleh penonton.

Meski demikian, karyanya itu belum mendapat pengakuan secara khusus sebagai wayang kontemporer. Namun Tavip tidak patah arang dan terus mensosialisasikan wayang alternatifnya itu.

Dalam pertunjukannya, M Tavip mengajak penonton untuk sejenak melupakan wayang tradisional dengan segala atribut dan pakemnya.

"Wayang ini bisa menampilkan tokoh siapapun dan untuk kondisi apapun, tidak ada pakem atau atribut yang mengikat. Semuanya bergulir dan diajak untuk mengikuti alur tema cerita kekinian," kata Tavip yang mengaku tidak jarang sebagai dalang juga bertindak sebagai penata cahaya.

Pria kelahiran Lampung tahun 1968 itu menycoba untuk mensosialisasikan wayang kreasinya itu kepada anak-anak. Selain pertunjukan ia juga mengajak anak-anak dan bahkan para orang tua untuk membuat sendiri wayangnya sesuai dengan keinginan mereka.

"Dampak buruk televisi telah menurunkan ruang kreatifitas, imajinasi dan sosialisasi. Saya kuatir anak-anak lebih hapat berbicara budaya asing dibanding budayanya sendiri," kata pria berambut gondrong itu menambahkan.
(S033/Y008)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011