Yogyakarta (ANTARA News) - Ilmu sosial di Indonesia masih terbelit krisis pengembangan dan harus cepat diatasi agar para ilmuwan tidak semakin terbuai oleh label kelas dunia, kata pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Purwo Santoso.
"Dalam konteks itu harus ada politik keilmuan. Sayangnya, hal itu luput dari perhatian para ilmuwan sosial sendiri karena patuhnya mereka pada ajaran ilmu sosial harus netral," katanya dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, tanpa politik keilmuan yang jelas, kebijakan pemerintah mendorong universitas-universitas di Indonesia agar "go international" sangat riskan.
"Tekad UGM dan universitas lainnya untuk menjadi universitas riset kelas dunia mensyaratkan kepiawaian dan keteguhan sebagai lembaga pengembangan ilmu. Persyaratan itu semakin terabaikan oleh derasnya arus industrialisasi pendidikan," katanya.
Ia mengatakan bahwa politik keilmuan diperlukan karena ilmu pengetahuan adalah alat kekuasaan. Pengembangan ilmu dalam skala global berlangsung dalam peta kekuatan dan kekuasaan global pula. Dengan demikian, dalam pengembangan ilmu, termasuk ilmu sosial tidak mungkin bersifat netral.
"Contohnya, negara-negara Amerika Latin dan Asia Timur memiliki politik keilmuan yang jelas untuk menghadapi supremasi keilmuan negara-negara Barat. Teori yang mereka pakai, termasuk teori sosial, tidak diasumsikan netral," katanya.
Menurut dia, untuk "go international" UGM harus sanggup berperan sebagai produsen ilmu. Keterlibatan di kancah internasional dalam bidang keilmuan idealnya tidak hanya "pengimpor", tetapi juga "pengekspor". Caranya tidak cukup dengan belajar ke luar negeri, tetapi juga mengkondisikan orang asing belajar ke UGM.
"Penerapan paket teori impor, apalagi yang belum sempat dikaji dan disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sering memunculkan sejumlah persoalan baru. Ironisnya, ketika teori yang diterapkan tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, para ilmuwan justru merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat," katanya.
(B015*H010/M008/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011