Saya masih melihatnya duduk saat akan mulai salat dan masih berpikiran kalau dia itulah khatib Jumat"

Jakarta (ANTARA News) - Siapa sangka pemuda tampan nan kalem itu punya niat meledakkan diri di dalam masjid.

Saat dia memasuki Mapolresta Cirebon untuk salat Jumat dengan berbusanakan pakaian koko dan peci hitam, Ramhat Sunyoto, pedagang es krim di depan Mapolresta, mengiranya khatib dan imam salah Jumat.

"Wajahnya ganteng, putih bersih dan pembawaanya kalem, jadi saya sangka dia khatrib Jumat kali ini saat melintasi dagangan es saya," kata Rahmat yang kepalanya terkena lontaran mur akibat ledakan bom itu.

Ia menjeaskan, saat memasuki masjid untuk memulai salat sunah tahiyatul masjid, Rahmat sempat melirik ke arah pelaku yang duduk bersender di pintu sebelah kiri.

"Saya masih melihatnya duduk saat akan mulai salat dan masih berpikiran kalau dia itulah khatib Jumat karena berbeda dengan yang lain yang umumnya anggota polisi," katanya.

Tak dinyana, si kalem itulah yang menyebabkan kepalanya harus dioperasi setelah sebuah mur ukuran 8 bersarang di kepala belakang sebelah kanannya. Saat itu pelaku berada satu shaf di belakang Rahmat, agak ke kanan.

Rahmat masih dalam posisi duduk dan bersiap berdiri, namun tiba-tiba terdenga ledakan. "Saya kira ledakan dari listrik, dan saya langsung berlari ke luar," katanya.

Sebagian orang yang mengenal si pemuda yang kemudian diketahui bernama Muhammad Syarif ini tidak menyangka dia nekad menjadi pelaku bunuh diri.

Mereka yang tidak menyangka ini, diantaranya adalah rekan- rekan seprofesinya di konter HP dan jasa cetak foto di Toserta Surya Cirebon, tempat usaha terakhir Syarif.

"Dia tampan dan sopan serta tidak banyak bicara kalau nggak ditegur. Tapi karena jago komputer, jadi banyak juga yang kenal di sini," kata Hesti, seorang penjaga konter.

Hesti bercerita, sesekali Syarif berselisih paham dengan teman sesama usaha konter. Orang ini tidak mau kalah berdebat, apalagi kalau bicara soal benar-salah menurut agama.

Namun di mata Andi Mulya, tokoh Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (Gapas) Wilayah Cirebon, perangai Syarif itu tidak aneh. Dia tahu Syarif memang terlalu keras dan tidak menoleransi apa pun yang diyakininya menyimpang dari syariat Islam.

Andi mengaku bangga padan keteguhan Starif dalam menegakkan syariat Islam dan selalu bertindak sesuai norma agama, tetapi dia kaget kalau Syariflah pelaku bom bunuh diri itu.

"Dia kemungkinan dimanfaatkan kelompok lain untuk melakukan bunuh diri, tetapi bisa juga itu merupakan tindakannya sendiri, karena dia sering berbuat menurut pendapatnya sendiri tanpa melihat lingkungannya," kata Andi.

Ia mencontohkan, Syarif tidak segan-segan membangunkan orang yang tidur di masjid dengan menyepakan kakinya kepada si orang tertidur itu, jika waktu salat sudah tiba.

"Menyadarkan orang untuk segera salat dan tidak menjadikan mesjid sebagai sarana tidur itu baik, tetapi belum tentu caranya itu diterima orang, karena dinggap kasar," ujar Andi.

Tidak hanya orang luar, ayah kandung Syarif sendiri, Abdul Gofur (64) juga merasakan kejanggalan sang anak yang begitu fanatik terhadap syariat Islam, terutama sejak tahun 2009. Syarif menyatakan sistem hukum yang dianut Indonesia serkarang adalah warisan Belanda dan dianggap kafir.

Sementara istri yang sebelumnya tidak yakin suaminya menjadi pelaku bom bunuh diri, akhirnya tak kuat menahan beban pikiran setelah dia mendengar pengumuman dari Mabes Polri, Senin siang.

"Dia masih syok, walaupun sebenarnya sejak kemarin sudah mulai takut menerima apa yang akan terjadi, apalagi dia hamil tua," kata seorang kerabatnya.

Minuman keras

Sampai kini motif pelaku masih misterius. Polisi pun harus bisa mengejar rekan-rekan terdekatnya atau mencari wasiat yang ditinggalkannya.

Dari rentetan kejadian sebelum terjadi bom dan temperamennya yang emosional, bisa jadi tindakan bunuh diri itu hanya dilakukan atas inisiatif sendiri.

Masih belum jelas, dendam apa yang membuat pelaku nekad melakukan aksi keji itu. Namun jika melihat hubungannya dengan Polresta Cirebon, maka bisa jadi dia kesal karena tindakan kelompoknya yang berusaha memberantas minuman keras beberapa waktu, diaggap perbuatan pidana oleh polisi.

Perusakan tiga minimarket karena menjual bebas minuman keras pada 19 September 2010 di Kota Cirebon oleh kelompok massa yang diduga melibatkan Syarif, bisa jadi merupakan latar belakang serangan bom bunuh diri Syarif.

Syarif diduga tidak menerima perlakuan polisi yang mencap kriminal aksi mereka ketika merusak toko penjual minuman keras.

Mereka menganggap sistem hukum sudah tidak adil karena membiarkan toko-toko menjual minuman keras secara bebas sehingga meracuni masyarakat.

Syarif dan kelompoknya akhirnya menempuh langkahnya sendiri. Pesannya jelas, jangan menjual minuman kera, apa pun dalihnya, karena hukumnya haram.

Tidak hanya soal minuman keras. Kekerasan sikapnya dia tunjukkan ke sesama umat Islam ketika menurunkan satu spanduk di sekitar Mesjid Attaqwa Cirebon, tanpa berkoordinasi dengan panitia yang juga sesama umat Islam.

Pokoknya, dia akan bertindak jika sesuatu apa pun dinilainya sudah di luar syariat Islam.

Tak heran, tanpa disuruh siapa-siapa, dia berdiri paling depan menghadapi massa Ahmadyah dari Manis Lor, karena dia menilai ajarah Ahmadyah menyimpang dan murtad.

Sekali lagi, pesan Syarif adalah jangan sekali-kali meremehkan syariat Islam dan jangan sampai hukum positif di negeri ini menjadi ancaman terhadap penegakan syariat Islam.

Artinya, minunam keras itu jelas dilarang agama karena merusak moral generasi muda. Pemerintah, katanya, seharusnya membuat aturan tegas guna melarang penjualan minuman keras, apalagi sampai menjualnya kepada orang beragama Islam.

Menurut ayahnya, Syarif sangat membenci sistem hukum peninggalan Belanda yang diangapnya jauh dari syariat Islam.

"Anak saya punya keinginan kuat untuk mengubah sistem hukum di sini sesuai dengan syariat Islam," kata sang ayah.

Sudah terendus

Lalu mengapa Syarif nekad melakukan serangan bom bunuh diri?

Jawabnya mungkin ada pada satu ocehan dari pelaku kepada seorang rekanya berikut ini, "Daripada ditangkap polisi nanti juga dituntut mati, lebih baik sekalian mati bersama".

Pesan Syarif itu pun kemudian diterjemahkan anggota jaringan mereka sebagai pesan bom bunuh diri.

Ancaman serangan bom di Cirebon ini sendiri sudah terbaca oleh sejumlah sumber. Mereka ini mengaku bahwa beberapa jam sebelum terjadi ledakan, kalangan intelijen sudah mengetahui sejumlah tempat telah ditentukan target serangan bom. Tapi, tak ada satu pun yang menyangka target itu ternyata Markas Polresta.

Lebih mengagetkan lagi, bom itu diledakkan di masjid dan saat salat Jumat pula. Ini disebut-sebut sebagai pola baru yang belum pernah terjadi di Indonesia.

Ahli memperbaiki telepon seluler dan memahami elektronika, membuat pelaku tidak sulit membuat bom sederhana seperti dipakai dalam berbagai konflik di Indonesia. Kemungkinan Syarif mendapat pelatihan singkat membuat bom sederhana, lalu merakitnya sendiri.

Analisa itu sesuai dengan temuan rangkaian elektronik di rumahnya di Desa Penjalin Kidul, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Majalengka.

"Tujuh rangkaian elektronik ditemukan di rumah mertua yang juga ditempati pelaku di Desa Penjalin Kidul," kata Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Irjen Pol Mathius Salempang.

Polisi sendiri masih belum bisa memastikan untuk apa rangkaian-rangkaian elektronik itu dipakai. Detasemen Khusus 88 Antiteror masih terus menyelidikinya.

"Selain itu, di rumah pelaku ditemukan aluminium, baterai, saklar, bola lampu, mur dan paku," sambung Mathius.

Syarif tampaknya sedang belajar merakit bom, dan dia kerjakan itu di luar rumah. Tak heran, Sri Malina, istrinya, tidak pernah melihat tersangka mengotak-atik sesuatu rangkaian elektronik di rumah itu.

Masih belum jelas benar, apakah target masjid adalah salah satu agenda kelompok Syarif ataukah hanya inisiatif Syarif sendiri.

Logiknya, jika ingin melukai polisi tentu dia bisa lakukan di mana saja, entah di jalan, di warung atau di mana saja.

Tetapi diduga Syarif ingin mencari target berpangkat tertinggi. Semakin tinggi pangkat polisi dan semakin banyak jatuh korban, mungkin menjadi kebanggaan baginya orang-orang seperti Syarif yang menganggap diri mereka sedang berperang.

Dan hanya saat salat Jumat itulah, Syarif bisa mendekati seorang komandan polisi tanpa dicurigai.

Kemungkinan besar, sebelum Syarif beraksi, dia dan jaringannya sudah terlebih dahulu mempelajari kebiasaan di masjid Mapolresta itu.

Ini mungkin karena polisi lemah menjaga markasnya, apalagi Syarif sudah dinyatakan tersangka sejak SIM C-nya tertinggal di TKP pembunuhan Kopka Suteja pada 2 April 2011, malam hari.

Ada dua versi mengapa prajurit TNI itu tewas. Pertama, dia mendengar percakapan tentang bom oleh dua pelaku (salah satunya Syarif) di warung milik Ali, di Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon. Setelah mendengar percakapan bom, Suteja meminta indentitas kedua orang itu, namun baru saja memasuki warung, dia mendapat serangan mematikan.

Versi kedua, prajurit itu tengah melakukan operasi intelijen untuk mengetahui pelaku pembegalan yang sering terjadi di sekitar daerah itu.

Saat melihat ada dua orang yang mencurigakan di warung milik Ali, Suteja berusaha meringkus keduanya, namun fatal kedua pelaku itu rupanya lebih dulu siap menyerang dengan senjata tajam.

Andai saja polisi segera memburu pelaku pembunuhan Suteja ini atau minimal menyebar informasi mengenai kasus ini ke semua pos polisi, mungkin si `DPO` itu tidak akan berani memasuki markas polisi. Apalagi, berada di tengah-tengah anggota jamaah salat Jumat yang 90 persen adalah anggota kepolisian.

Jangan sampai mata polisi seperti mata pedagang es durian itu yang terpukau oleh penampilan bersih yang kemudian terbukti mematikan itu. Polisi harus tetap waspada.(*)

B013/H-KWR

Oleh Budi Santoso
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011