Jakarta (ANTARA News) - Pasal 22, 34, dan 35 UU No 32 tahun 2009 Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan bahasa tulis lugas, tegas, dan terang mewajibkan suatu kegiatan atau usaha wajib dilengkapi dokumen Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) atau UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) atau SPPL (Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup).

Lalu kegiatan apa saja yang harus dilengkapi dengan dokumen Amdal, diatur dalam PerMenLH No 11 tahun 2006. Pedoman penyusunan Amdal dipandu dalam PerMenLH No 8 tahun 2006. Penyusunan UKL-UPL dan SPPL diatur dalam PerMenLH No 13 tahun 2010.

Pasal 97 - 120 UU No 32 tahun 2009, kesemuanya mengatur tentang sanksi bagi pelanggar yang diberlakukan tidak saja bagi para praktisi usaha/kegiatan/industriawan, konsultan lingkungan, personel penyusun dokumen lingkungan, juga pemerintah (Badan Lingkungan Hidup) yang memegang otoritas pengelolaan lingkungan. Pasal-pasal sanksi inilah yang bisa mendirikan bulu kuduk jika dicermati maknanya satu persatu, mengingat demikian tegas dan garang implikasinya.

Namun demikian galaknya sanksi yang tersurat secara eksplisit dalam UU tersebut, masih menyisakan ruang kompromi semacam pemutihan bagi usaha/kegiatan/industri yang tak punya dokumen pengelolaan lingkungan. Pemerintah tidak memeja-hijaukan pelaku industri yang tak punya dokumen lingkungan. Kompensasinya, praktisi industri diwajibkan mematuhi PerMenLH No 14 tahun 2010.

Ruang kompromi tersebut diakomodir dalam pasal 121-123. Pasal inilah yang mendasari lahirnya PerMenLH No 14 tahun 2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau Kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen lingkungan hidup.

PerMenLH No 14 tahun 2010 ini berisi kewajiban menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) bagi perusahaan yang terkena kewajiban menyusun dokumen Amdal tapi tak menyusunnya, serta Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) bagi perusahaan yang terkena keharusan menyusun dokumen UKL-UPL tapi tak melaksanakannya.

Ketentuan tentang pemutihan lingkungan ini untuk kali ketiga diberlakukan. Sebelum ini berupa PerMenLH No 12 tahun 2007 tentang Dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan bagi kegiatan yang tidak memiliki dokumen pengelolaan lingkungan (DPPL).

Ketika awal Amdal diintroduksi via PP No 29 tahun 1986, sudah banyak industri yang berkiprah. Kala itu, industri terkena kewajiban menyusun Semdal (Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan) yang bersifat mengevaluasi kegiatan yang sedang berjalan, mendeteksi pengaruhnya terhadap lingkungan, dan memformulasi upaya pengelolaannya.

Setelah lebih dua dasawarsa semestinya sudah tidak ada lagi industri yang tak memiliki dokumen pengelolaan lingkungan. Aplikasi pengelolaan lingkungan seyogyanya telah memasuki tahap pendewasaan, bahkan mulai memasuki sistem pengelolaan lingkungan kontemporer dan proaktif.

Lohani dkk (1997) mengungkapkan kelemahan implementasi Amdal di Asia antara lain:

  1. Kekurangan panduan (insufficient procedural guidance)
  2. Kekurangan pangkalan data (inadequate baseline data upon which to base analyses)
  3. Permasalahan biaya studi (the cost of EIA study preparation)
  4. Keterlambatan implementasi projek (potential delays in project implementation)
  5. Kekurangan tenaga ahli (the lack of expertise for assessing impacts)
  6. Kurangnya komunikasi hasil studi dengan pembuat keputusan (inefficient communication of EIA results to decision makers)
  7. Kurangnya koordinasi (lack of inter-agency coordination)
  8. Terbatasnya kemampuan mereview dokumen Amdal (limited capacity for review of EIA reports)
  9. Lemahnya komitmen untuk mengimplementasikan dokumen Amdal (insufficient commitment to follow up on the implementation of environmental protection and monitoring requirements).
Hal yang luput dari analisis Lohani dkk adalah pada tataran hulunya yakni ketidaktahuan atau apatisme terhadap perlunya menyusun dokumen pengelolaan lingkungan yang selanjutnya harus dibarengi dengan kekonsistenan aplikasinya. Karena hingga saat inipun masih ada saja kalangan industriawan di bumi Nusantara ini yang tak mengindahkan urgensinya pengelolaan lingkungan !

Agak janggal memang suatu industri bisa beroperasi tanpa dokumen lingkungan. Padahal secara eksplisit dinyatakan bahwa untuk memperoleh izin usaha, harus dilengkapi dengan dokumen pengelolaan lingkungan !

Ketidakpatuhan industri terhadap pengelolaan lingkungan ini terendus dengan jelas pada 47 perusahaan yang mendapat peringkat hitam pada PROPER (2010) silam, yang berarti 7% dari jumlah total perusahaan (690 buah) yang diikutsertakan dalam program PROPER (penilaian kinerja perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan). Peringkat hitam representasi dari terburuk dalam pengelolaan lingkungan. Peringkat di atasnya yang lebih baik berturut-turut adalah merah, biru, hijau, dan emas.

Dinamika per-Amdal-an di negara kita telah tiga kali berevolusi mulai dari PP No 29/1986, PP No 51/1993 dan PP No 27 tahun 1999. PP yang terakhir inipun saat ini sedang dalam proses pembaruan, tentu akan mengakomodir ketentuan-ketentuan baru pada UU 32/2009.

Adanya konsep izin lingkungan, analisis risiko lingkungan, audit lingkungan, prinsip pencemaran membayar (polluters must pay principle), dsb, diharapkan akan menjadi garda formal terdepan dalam mengawal pelestarian lingkungan, tentu saja harus dibarengi dengan kesinambungan penerapannya.

Dengan semakin tegasnya UU no 32 tahun 2009, membuat kalangan industriawan semakin menciut nyalinya untuk mangkir terhadap kewajiban pengelolaan lingkungan.

Selain itu, dibalik ketegasan tersebut sebetulnya tersembunyi niatan luhur dari otoritas pengelola lingkungan, berupa penyediaan wadah formal bagi praktisi industri yang berupaya untuk tidak hanya sekedar taat pada tataran pengelolaan lingkungan konvensional, tapi juga proaktif terhadap sistem pengelolaan lingkungan kontemporer yang terkini (up to date) dan globally accepted yang bahkan mampu mengangkat citra positif perusahaan (corporate image) yang peduli terhadap lingkungan. (***)


*) Sekretaris Eksekutif PPLH-IPB

Oleh Hefni Effendi *)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011